let's go get lost

Look at Yourself


Few days ago I got problem when installing application in my phone. Every time I wanted to install an application, there was a notification said that my internal storage is not enough and I had to delete some file. This always happened even when I had emptied my internal storage. At the end, just few application could be installed that are BBM, LINE (these two application spent a lot of my memory -,-) and Instagram. To empty my storage, I tried to move LINE to my external storage, but it was not available.

I feel frustrated because I need the others application such as whatsapp, dictionary, bible, etc for my daily activity and communication. To solve this problem, many thoughts came to my mind. Start from reboot my phone (I have an android) until sell it and buy the new one (what a brilliant terrible thought), but none of them I could do. First, I couldn't reboot my phone because I was not a genius-IT person and I was afraid to take any risk that be able to crush my phone. Second, I couldn’t sell my phone because I knew the price must be very cheap and I didn't have enough money to buy the new one. Arrrgghhh..

One thing that I could do is share it to my beloved sister. Luckily, she said something that realized me. She told me to look at the size of LINE or BBM application. She said maybe the large size of the data came from the chat history that I never deleted. Immediately, I looked at my chat bar and tried to delete some. And what I got was there were more than 300 chats that I never deleted so long. Even deleted these-so-much-history-chats made my phone stop working. OMG! I felt like an idiot. After cleaning the chat history, my internal storage emptied and be able to breathe-back automatically. Horaay!

The reason why I write this is because I get some worthy point to consider. I think that we (all people who live under the clouds in this earth -include me-) often experience same thing when we get a problem. We stuck, frustrated, revile, complain, blame other and try to change ourselves become another people without look at ourselves first. We forget to look into our thought, our heart, our behavior, or our words. We forget to seek our own ‘trash’ that could be the cause of our problem.

Whereas, when we look at ourselves first, we can realize what truly happened. If we could find our trash -like a lot of unnecessary chat history in my phone-, we will be able to clean up ourselves and become a better person. We become a positive person by not always complaining and blaming others for everything happened to us. We cold breathe freshly and turn into someone new, and that’s good for our life. So, let’s take your time for a while and look at yourself first to live a better life.

image source : atpscience.com


- July, 2016
Share:
Read More

[Book Review] Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin - Tere-Liye, 2010


“Ketahuilah Tania dan Dede…. Daun yang jatuh tak pernah membenci angin… Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya. Tania, kau lebih dari dewasa untuk memahami kalimat itu…. Tidak sekarang, esok lusa kau akan tahu artinya…. Dan saat kau tahu apa artinya, semua ini akan terlihat berbeda. Kita harus pulang, Tania” -Danar

Sejak fenomena copy-paste quote dari akun facebook Tere Liye yang dijadikan status atau caption media sosial, saya jadi penasaran akan buku-bukunya. Terlebih lagi saat seorang blogger yang blognya sering saya baca akhir-akhir ini, menyinggung tentangnya di salah satu tulisannya. Biasanya hal-hal yang sangat menarik perhatianlah yang dibahas dan kemudian dijadikan bahan renungan melalui beliau di blognya.

Ibu, Tania, dan Dede. Mereka hidup bertiga melawan kerasnya kehidupan setelah ditinggal ayah. Ibu bekerja apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tania dan Dede tidak lagi pergi ke sekolah tiap pagi, melainkan pergi ke terminal dan bus tempat mereka mengamen dengan baju lusuh tanpa alas kaki. Tiga tahun. Tiga tahun lamanya anak berumur sebelas dan delapan tahun itu harus hidup di rumah kardus di bantaran sungai, hanya bersama ibu yang sabar dan tidak pernah mengeluh.

Hidup berjalan penuh dengan kesulitan sampai mereka bertemu dengan seseorang/dia. Seseorang/dia yang menjadi malaikat bagi keluarga mereka. Seseorang/dia yang mengangkat mertabat dan kualitas hidup mereka menjadi manusia seutuhnya. Seseorang/dia yang memberikan kesempatan yang bertubi-tubi agar keluarga ini bisa menatap masa depan yang cerah. Seseorang/dia yang bernama Danar Danar, yang keanehan namanya memancing pertanyaan Dede, “nama Oom kok aneh dobel-dobel gitu?”

Semenjak seorang malaikat datang ke rumah kardus mereka, cahaya kehidupan tampak semakin terang. Keadaan lambat laun membaik. Tania dan Dede tumbuh seperti anak-anak lainnya. Sampai pada akhirnya, Tania diperkenalkan pada suatu perasaan yang dia pun tak mengerti. Malaikat yang seharusnya menjadi kakaknya karna sudah dianggap anak oleh Ibu terasa berbeda dimatanya. Senang, rindu, berharap, kecewa, cemburu. Semua perasaan itu silih berganti dirasakan Tania karena Danar. Bolehkan ia mencintai malaikatnya, bahkan dengan usia yang terpaut belasan tahun diantara mereka?

Aku bukan daun! Dan aku tak pernah menjadi daun! Aku tak pernah menginginkan perasaan ini, kan? Dia datang begitu saja. Menelusuk hatiku. Tumbuh pelan-pelan seperti kecambah disiram hujan. Aku sungguh tidak menginginkan semua perasaan ini. -Tania

Seperti judulnya, buku ini bercerita tentang hal mengikhlaskan. Mengikhlaskan kepergian seorang ibu, mengikhlaskan pengharapan yang tak kunjung datang, mengikhlaskan cinta bertepuk sebelah tangan, mengikhlaskan keputusan yang salah dalam hidup dan mengikhlaskan kenyataan bahwa hidup harus terus berjalan.

Ceritanya mengalir seperti kehidupan. Terus berputar seperti roda. Saat Tania merasa bahwa harapannya melambung tinggi dan disambut baik oleh Danar, namun setelahnya harapan itu jatuh dibanting keras ke tanah.  Ketika Tania memutuskan untuk menyudahi semuanya perasaannya, namun yang timbul malah teki-teki yang lama-kelamaan mulai kelihatan titik temunya. Teki-teki akan sikap ‘ganjil’ Danar yang menjadi alasan harapan Tania selama bertahun tahun.  Dan lagi-lagi keikhlasan lah yang menjadi pemeran utama dalam cerita ini.

“Bahwa hidup harus menerima…. Penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti… pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami… pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan” - Dede

Hal lain yang saya sukai dari buku ini selain ‘hal mengikhlaskan’ adalah alurnya. Tere Liye bercerita maju mundur. Penulis membawa kita ke dalam renungan dan kenangan Tania akan setiap detik kehidupan masa lalunya selama 1 jam 17 menit sambil melihat sibuknya pemandangan malam kota yang basah akibat hujan melalui kaca besar di lantai 2 toko buku terbesar di kotanya.

Dan dari setiap menit-menit itulah Tere Liye menceritakan kehidupan Tania, Dede, Ibu, Danar dan Kak Ratna sampai ketika Tania menemukan potongan-potongan teka-teki yang mulai kelihatan sambungannya. Klimaks cerita pun diceritakan dengan alur yang sama, namun dengan intensitas yang lebih tinggi. Alur maju mundur bergantian dengan cepat berisi berbagai pengakuan seakan melarang pembaca untuk tidak memalingkan muka dari buku di hadapannya. Membaca bagian kelimaksnya sama seperti menonton Captain America bertarung dengan Iron Man sambil mengatakan kebenaran yang selama ini mereka pendam di film Civil War.

Selain itu, saya juga mengagumi cara Tere Liye untuk menyusun cerita dan merangkai kata. Saya kagum terhadap semua penulis yang mempu merangkai kata. Menggunakan perumpamaan, membuat dialog yang pas hingga meninggalkan kesan atau menceritakan suasana setting dengan detail dan baik. Saya semakin kagum terlebih saat saya sudah mencoba menulis dan menemukan bahwa menyusun kata-kata sampai menciptakan bacaan yang tidak merepotkan pembaca itu tidak mudah. 

-Juli 2016
Share:
Read More
,

Ulang! (Bukan) Pulang!

[inspired by true story]


Aku mengetuk-ngetuk jari ke layar handphone yang menunjukkan waktu pagi itu. Gawat, 5 menit lagi! Ayo ngebut dong pak sopir, teriakku dalam hati. Sekolahku tinggal berjarak 1 km lagi, tapi keadaan angkot yang dari tadi sibuk menurunkan penumpang mahasiswa di universitas negeri di dekat sekolah memperlambat jarak tempuh. Kalau bukan karena mendapat jadwal bertugas sebagai pemimpin paduan suara, aku tidak akan sepanik ini. Ah, kesiangan sialan! Hanya telat beberapa menit saja jalanan sudah ramai. Tiga angkot yang ku stop meninggalkan ku begitu saja dengan tega karena penumpangnya sudah penuh.

Ditambah lagi perut yang mules akibat gugup membayangkan aku akan berjalan ke depan dan memimpin paduan suara pada saat upacara nanti, walaupun ini bukan pertama kalinya. Sebagai anggota paskibra sekolah, setiap angkatan akan digilir untuk bertugas pada upacara senin pagi. Kebetulan pagi ini merupakan jadwal angkatan ku, angkatan 13.

Sesampainya di sekolah, gerbang masuk sudah sepi. Aku langsung melompat dari angkot, membayar ongkos dan berlari menuju gerbang sekolah.

“Cepat! Cepat! Sudah mau mulai upacara itu!” teriak Pak Site, satpam yang sudah kukenal baik akibat kebiasaan ku yang selalu bermasalah dengan waktu.

Benar saja. Sesampainya di lapangan upacara, semua siswa sudah berkumpul menunggu dibariskan. Untung belum mulai. Segera ku letakkan tas ke ruangan yang menjadi tempat tujuan pertama anggota Paskibra (yang umunya menjadi pengurus OSIS) di sekolahku setiap pulang sekolah, yaitu ruang OSIS, kemudian berlari secepat mungkin ke lapangan upacara.

Menjadi murid perempuan di sekolah STM membuatku menjadikan ku sebagai kaum minoritas, jumlah kami hanya sekitar 10% dari total keseluruhan murid laki-laki. Makanya, setiap upacara kami berbaris terpisah dengan murid laki-laki dan bertugas sebagai paduan suara. Segera kusiapkan kelompok paduan suara dan mengambil barisan di paling kanan, tempat pemimpin paduan suara.

Upacara pun dimulai. Baru saja masalah kepanikan akibat insiden hampir terlambat selesai, masalah yang lain muncul lagi. Jantung berdetak cepat dan perut mules, gugup. Aku mencoba menenangkan diri sampai giliran ku memimpin paduan suara untuk lagu Indonesia Raya. Pengibar dari angkatanku sudah bersiap-siap dan jalan tegap menuju tiang bendera dengan kaki berderap serentak. Aku menarik nada dasar lalu kelompok paduan suara bernyanyi. Bertepatan dengan berakhirnya lagu Indonesia Raya, bendera sampai di ujung tiangnya. Hufft, berhasil.

Kemudian upacara dilanjutkan sampai tiba saatnya menyanyikan salah satu lagu nasional. Giliranku lagi. Aku menarik napas dan mengambil langkah tegap ke depan kelompok paduan suara, dan seketika itu juga menyadari bahwa aku belum mempersiapkan lagu yang akan dinyanyikan. Astaga! Lagu nasional.. lagu.. lagu… Pancasila saja! Pikirku cepat. Segera aku menarik nada dasar yang diikuti oleh nyanyian tim paduan suara. Bait pertama lancar.. bait kedua lancar.. Sampai di pertengahan lagu, tempo lagu mulai tidak jelas. Aku sampai harus mengeraskan suaraku agar siswi yang lain mengikuti. Lama kelamaan tempo makin hancur, tim paduan suara berlomba-lomba menyanyi sampai di akhir lagu dan kemudian terdengar suara gaduh bercampur gelak tawa murid laki-laki. Sial!!

Aku tertunduk malu dan langsung menghadap ke kiri untuk bersiap kembali ke barisan. Andai saja muka ini bisa dicopot dan disimpan di kantong untuk sementara. Tapi tiba-tiba…

 “PULANG!” teriak sebuah suara dari mikrofon.

Suara tegas itu milik Pak Aswar, kepala sekolah yang berdiri di podium sebagai pembina upacara. Aku terkejut. Hah? Pulang??? Oke, tidak bisa memimpin paduan suara dengan baik dan mengakibatkan kegaduhan di tengah-tengah upacara memang sebuah kesalahan, tapi disuruh pulang? Masa iya aku harus lari ke ruang OSIS mengambil tas lalu pulang ke rumah karena kesalahan pagi ini? Di benakku langsung terbayang gambar diriku yang menunduk malu, menyeret koper dan berjalan pulang seperti peserta pencarian bakat tereliminasi. Aku terdiam sejenak, bingung, panik.

“Ri! Ayo Ri mulai lagi. Ri!” bisikan seorang teman menyadarkan ku. Hah? Aku makin bingung.

“ULANG!” teriak Pas Aswar dari podium, lagi.

Ulang? Pulang? Pulang? Ulang? Oh, ulang! Otakku langsung bekerja lebih cepat sepersekian detik menyadari apa yang telah terjadi. Ternyata dari awal Pak Aswar mengatakan ulang, bukan pulang. Aku langsung bersiap-siap dan kembali menarik nada dasar. Kali ini dengan anggukan dan senyuman elegan agar tim paduan suara mau diajak kerja sama. Tim paduan suara pun mulai bernyanyi. Bait pertama lancar, bait kedua lancar, reff lancar kemudian ditutup dengan serentak tanpa berlomba-lomba lagi. Aku memberi tanda penutup sambil tersenyum lega, kemudian kembali ke barisan.

Huuuuffffftttt, legaaa... Upacara berakhir dengan penghormatan pembina upacara dan pemimpin upacara. Peserta upacara tidak lagi bersiap dan lebih santai. Kemudian Pak Simson, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan yang terkenal galak tapi baik hati naik ke atas podium lalu mengambil mikrofon.

“Dengarkan! Upacara pagi ini sudah selesai. Dan kalian, cewek-cewek paduan suara tinggal dulu di lapangan. Nyanyi apa itu kek gitu?! Yang lainnya boleh masuk kelas!” tatapannya tajam kearah kelompok paduan suara lengkap dengan logat bataknya yang khas.
Deg! Gawat, mati aku maaaakk...!! 

- Juli 2016
Thanks to SMKN 1 PST for giving me
 so many unforgettable super 
exciting high school memories
Share:
Read More