[inspired by true story] |
Aku mengetuk-ngetuk
jari ke layar handphone yang
menunjukkan waktu pagi itu. Gawat, 5 menit lagi! Ayo ngebut dong pak sopir, teriakku dalam hati. Sekolahku tinggal
berjarak 1 km
lagi, tapi keadaan angkot yang dari tadi sibuk menurunkan penumpang mahasiswa
di universitas negeri di dekat sekolah memperlambat jarak tempuh. Kalau bukan
karena mendapat jadwal bertugas sebagai pemimpin paduan suara, aku tidak akan sepanik
ini. Ah, kesiangan sialan! Hanya
telat beberapa menit saja jalanan sudah ramai. Tiga angkot yang ku stop
meninggalkan ku begitu saja dengan tega karena penumpangnya sudah penuh.
Ditambah lagi perut
yang mules akibat gugup membayangkan aku akan berjalan ke depan dan memimpin
paduan suara pada saat upacara nanti, walaupun ini bukan pertama kalinya. Sebagai anggota paskibra
sekolah, setiap angkatan akan digilir untuk bertugas pada upacara senin pagi. Kebetulan
pagi ini merupakan jadwal angkatan ku, angkatan 13.
Sesampainya di
sekolah, gerbang masuk sudah sepi. Aku langsung melompat dari angkot, membayar
ongkos dan berlari menuju gerbang sekolah.
“Cepat! Cepat!
Sudah mau mulai upacara itu!” teriak Pak Site, satpam yang sudah kukenal baik akibat
kebiasaan ku yang selalu bermasalah dengan waktu.
Benar saja. Sesampainya
di lapangan upacara, semua siswa sudah berkumpul menunggu dibariskan. Untung belum mulai. Segera ku letakkan tas
ke ruangan yang menjadi tempat tujuan pertama anggota Paskibra (yang umunya menjadi pengurus OSIS) di sekolahku
setiap pulang sekolah, yaitu ruang OSIS, kemudian berlari
secepat mungkin ke lapangan upacara.
Menjadi murid
perempuan di sekolah STM membuatku menjadikan ku sebagai kaum minoritas, jumlah kami hanya sekitar 10% dari total
keseluruhan murid laki-laki. Makanya, setiap upacara kami berbaris terpisah
dengan murid laki-laki dan bertugas sebagai paduan suara. Segera kusiapkan
kelompok paduan suara dan mengambil barisan di paling kanan, tempat pemimpin
paduan suara.
Upacara pun
dimulai. Baru saja masalah kepanikan akibat insiden hampir terlambat selesai, masalah
yang lain muncul lagi. Jantung berdetak cepat dan perut mules, gugup. Aku
mencoba menenangkan diri sampai giliran ku memimpin paduan suara untuk lagu Indonesia Raya.
Pengibar dari angkatanku sudah bersiap-siap dan jalan tegap menuju tiang bendera dengan kaki berderap serentak. Aku menarik nada dasar lalu kelompok paduan suara bernyanyi. Bertepatan dengan
berakhirnya lagu Indonesia Raya, bendera sampai di ujung tiangnya. Hufft, berhasil.
Kemudian upacara
dilanjutkan sampai tiba saatnya menyanyikan salah satu lagu nasional. Giliranku lagi. Aku menarik napas dan mengambil langkah
tegap ke depan kelompok paduan suara, dan seketika itu juga menyadari bahwa aku belum mempersiapkan
lagu yang akan dinyanyikan. Astaga! Lagu
nasional.. lagu..
lagu… Pancasila saja! Pikirku
cepat. Segera aku menarik nada dasar yang diikuti oleh nyanyian tim paduan
suara. Bait pertama lancar.. bait kedua lancar.. Sampai di pertengahan lagu,
tempo lagu mulai tidak jelas. Aku sampai harus mengeraskan suaraku agar siswi
yang lain mengikuti. Lama kelamaan tempo makin hancur, tim paduan suara
berlomba-lomba menyanyi sampai di akhir lagu dan kemudian terdengar suara gaduh bercampur gelak tawa murid laki-laki. Sial!!
Aku tertunduk malu
dan langsung menghadap ke kiri untuk bersiap kembali ke barisan. Andai saja muka ini
bisa dicopot dan disimpan di kantong untuk sementara. Tapi tiba-tiba…
“PULANG!” teriak sebuah suara dari mikrofon.
Suara tegas itu milik Pak Aswar, kepala sekolah yang
berdiri di podium sebagai pembina
upacara. Aku
terkejut. Hah? Pulang???
Oke, tidak bisa memimpin paduan suara dengan baik dan mengakibatkan kegaduhan
di tengah-tengah upacara memang sebuah kesalahan, tapi disuruh pulang? Masa iya
aku harus lari ke ruang OSIS mengambil tas lalu pulang ke rumah karena
kesalahan pagi ini? Di benakku langsung terbayang
gambar diriku yang menunduk malu, menyeret koper dan berjalan pulang seperti
peserta pencarian bakat tereliminasi. Aku terdiam sejenak, bingung, panik.
“Ri! Ayo Ri mulai
lagi. Ri!” bisikan seorang teman menyadarkan ku. Hah? Aku makin bingung.
“ULANG!” teriak Pas
Aswar dari podium, lagi.
Ulang? Pulang?
Pulang? Ulang? Oh, ulang! Otakku langsung bekerja lebih cepat sepersekian
detik menyadari apa yang telah terjadi. Ternyata dari awal Pak Aswar mengatakan
ulang, bukan pulang. Aku langsung bersiap-siap dan kembali menarik nada dasar.
Kali ini dengan anggukan dan senyuman elegan agar tim paduan suara mau diajak kerja sama. Tim paduan suara pun mulai
bernyanyi. Bait pertama lancar, bait kedua lancar, reff lancar kemudian ditutup
dengan serentak tanpa berlomba-lomba lagi. Aku memberi tanda penutup sambil
tersenyum lega, kemudian kembali ke barisan.
Huuuuffffftttt, legaaa...
Upacara berakhir dengan penghormatan pembina upacara dan pemimpin upacara.
Peserta upacara tidak lagi bersiap dan lebih santai. Kemudian Pak Simson, wakil
kepala sekolah bidang kesiswaan yang terkenal galak tapi baik hati naik ke atas podium lalu mengambil mikrofon.
“Dengarkan! Upacara
pagi ini sudah selesai. Dan kalian, cewek-cewek paduan suara tinggal dulu di
lapangan. Nyanyi apa itu kek gitu?! Yang lainnya boleh masuk kelas!” tatapannya tajam kearah kelompok paduan suara lengkap dengan logat bataknya yang khas.
Deg! Gawat,
mati aku maaaakk...!!
- Juli 2016
Thanks to SMKN 1 PST for giving me
so many unforgettable super
exciting high school memories
One of unforgettable Dirjen and SMKN 1 PST Head school also Mr. Jaswar
ReplyDeleteYaap. Thanks for reading :)
ReplyDeleteNo problem, I love it. My memory was being back since I red this.
ReplyDeleteHahahah salam kenal dri angkatan 8,
ReplyDelete