“Kalau jadi Hindu jangan jadi India, kalau jadi Islam jangan jadi Arab, kalau jadi Kristen jangan jadi Yahudi. Tetaplah jadi orang nusantara dengan budaya nusantara yang kaya raya.” -Soekarno Hatta
Salah satu hal yang
saya sukai dari kegiatan traveling adalah saya bisa menemukan banyak hal baru.
Apakah itu sesuatu yang kita lihat, hirup, raba atau rasakan. Seperti Masjid
Muhammad Cheng Hoo yang berlokasi di Kota Jember, bangunan ini merupakan bangunan
masjid pertama yang saya lihat dengan arsitektur khas Tionghoa. Masjid yang umumnya berarsitektur
Islam, kini hadir dengan arsitektur khas Tionghoa yang keberadaan penduduknya di
Indonesia, khusunya di kota Jember, masih minoritas, hanya sekitar 10% dari
total penduduk kota Jember.
Walaupun pada masa
sekarang arsitektur masjid sudah lebih bervariasi dan mengangkat budaya lokal,
namun kebanyakan masjid di Indonesia masih menganut arsitektur khas Islam yang
berasal dari Timur Tengah dengan kubah dan menara. Namun berbeda dengan Masjid
Muhammad Cheng Hoo, bangunan ibadah yang dibangun umat Islam keturunan Tionghoa yang ada
di Jember ini mengangkat ciri khas arsitektur Tionghoa menyerupai Klenteng.
Eksteriornya berwarna merah, hijau dan kuning dengan atap limasan yang ujungnya
melengkung. Menara yang biasanya ada pada bangunan masjid menyerupai pagoda segi
delapan yang desainnya masih harmonis dengan bangunan masjid. Kolom strukturnya
juga memakai ornamen ragam hias dengan
warna merah dan kuning keemasan.
Tidak melupakan
arsitektur Timur Tengah, masjid Muhammad Cheng Hoo memakai lengkungan sebagai pintu masuk dan
kaligrafi di bagian dinding dan interiornya. Menurut informasi yang didapat
dari jemberonline.com, masjid ini juga sarat makna pada setiap ukurannya. Bangunan
berukuran 11m x 9 m yang berarti angka 11 bahwa ukuran Kabbah saat dibangun dan
9 sebagai lambang Wali Songo yang sangat berjasa besar dalam dakwah Islam di
Jawa.
Masjid Muhammad Cheng Hoo |
Interior Masjid Muhammad Cheng Hoo. Perpaduan unik antara kaligrafi dengan warna-warna khas arsitektur Tionghoa |
Kaligrafi pada dinding dan pagoda segi delapan |
Melihat keadaan
Indonesia yang sangat kaya akan perbedaan, bangunan ini dipandang sebagai
sesuatu yang sangat unik. Melalui arsitekturnya, Masjid Muhammad Cheng Hoo seolah-olah
berpesan “walaupun kita berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Masjid Muhammad
Cheng Hoo mampu merayakan Bhineka Tunggal Ika melalui arsitektur, karena Islam
bukan berarti Arab dan Kristen bukan berarti Yahudi. Ketika arsitektur saja
bisa menyatukan perbedaan dengan baik, kenapa kita sebagai manusia tidak?
Juni 2016
No comments:
Post a Comment