Ketika membaca judul dan sinopsis novel diatas, saya langsung tahu kalau novel ini mengambil cerita dari Jepang. Jujur saja,
sejak mencoba membaca novel karya Haruki Murakami, ketertarikan saya tentang
Jepang meningkat. Tapi ketertarikan akan buku ini semakin meningkat ketika
melihat nama penulisnya, Joyce Lebra, yang -menurut saya- sama sekali tidak ke
jepang-jepangan.
Setelah melihat
profil penulis dan sedikit browsing di internet,
ternyata Joyce Lebra adalah seorang profesor di Universitas Colorado yang
diakui sebagai ahli dalam kebudayaan perempuan Jepang, India dan Asia. Beliau
tinggal di Jepang selama 10 tahun untuk melakukan penelitian tentang sejarah
Jepang. Proses yang panjang memang mampu menghasilkan karya yang mengagumkan.
Dalam The Scent of Sake, tulisan Joyce hidup dan mengalir, seperti
ia pernah hidup di setting ceritanya. Ia menulis tentang kebudayaan, sejarah,
arsitektur sampai perkembangan bisnis sake dari masa ke masa.
Buku ini bercerita
tentang Rie, seorang anak perempuan yang merupakan pewaris bisnis sake keluarga Omura. Dengan
setting waktu berpuluh-puluh tahun sebelum Edo berubah nama menjadi Tokyo, Rie
hidup di sistem budaya Jepang kuno. Sebagai pewaris bisnis sake, Rie mempunyai
kewajiban untuk meneruskan bisnis turun-temurun yang telah dikelola keluarganya
selama 9 generasi, namun kehadirannya sebagai seorang anak perempuan membuat
gerak-geriknya sangat terbatas. Pada masa itu, seorang anak perempuan haruslah
berada di dapur. Urusan sake adalah urusan laki-laki. Bahkan kepercayaan yang
berkembang mengatakan bahwa perempuan mampu membuat sake menjadi masam.
Bagaimana mungkin Rei bisa mengemban tugasnya tanpa harus ikut campur sedikit
pun tentang bisnis sake keluarganya?
Melalui Rei, Joyce
mengangkat isu sosial terkait perbedaan gender yang sudah tertanam pada masa
itu. Layaknya Kartini di Indonesia, Rei yang cerdas menempatkan dirinya sebagai
perempuan yang tetap menjalankan kodratnya sambil melibatkan diri dalam keputusan
bisnis tanpa berusaha terlihat ‘ikut campur’. Perjuangan Rei diwarnai dengan berbagai kesulitan, bahkan Rei harus
rela mengorbankan kebahagiaannya sendiri demi kemajuan bisnis sake keluarga
Omura.
Joyce juga
bercerita tentang tradisi dalam bisnis sake yang dianggap sangat dihormati di daerahnya pada masa itu.
Segala bentuk persaingan, strategi, inovasi dan keberanian dalam mengambil
keputusan diceritakan dengan konfliknya sendiri-sendiri, juga tentang kesetiaan
dan loyalitas. Kemampuan untuk cepat beradaptasi dengan perkembangan jaman dan
modernitas diceritakan seiring dengan berakhirnya zaman Edo yang ditandai
dengan masuknya bangsawan dan masyarakat yang semakin maju. Sebuah bisnis turun-temurun yang diikat
tradisi dengan ketat perlahan-lahan dikenalkan dengan bisnis sampingan dan istilah perusahaan perseroan. Bukan hanya
dalam hal bisnis saja, pengaruh budaya barat dalam hal teknologi dan arsitektur
juga diangkat ke dalam cerita.
Banyak hal baru
yang saya dapat tentang budaya Jepang dalam novel ini, termasuk istilah-istilah
dalam Bahasa Jepang yang diartikan melalui footnote.
Misalnya kura yang berarti rumah
sake, hibachi yang berarti perangkat
pemanas tradisional Jepang, tatami yang berarti jenis tikar yang digunakan
sebagai bahan lantai tradisional gaya Jepang, zabuton yang berarti sejenis bantal yang digunakan untuk duduk
dilantai, kurabito yang berarti
sebutan untuk pembuat sake, dan banyak lagi lainnya. Sangat menarik, menurut
saya, ketika budaya dan sejarah yang nyata diperkenalkan melalui suatu kisah
fiksi yang menginspirasi.
Pasang surut
kehidupan Rei diceritakan secara cepat dan mengalir tanpa membiarkan pembaca
kehilangan satu moment pun. Novel ini bercerita tentang kehidupan berpuluh-puluh tahun
lamanya, seperti perjalanan hidup seseorang yang selalu diwarnai suka dan duka.
Sampai halaman akhir, saya tidak menemukan konflik yang klimaks dan berujung
penyelesaian seperti novel-novel lainnya, juga tidak ada adegan-adegan drama
yang berlebihan. Setiap bagian cerita mempunya konflik, klimaks dan
penyelesaiannya sendiri, tanpa ada yang menonjol berlebihan. Sekilas mungkin
novel ini terasa berat dan membosankan, namun di situlah letak kenikmatan
membacanya. Kita seakan-akan disuruh duduk santai menikmati kehidupan Rei; kegelisahannya, kebijaksanaannya,
kecerdasannya, keibuannya, ketenangannya, ketegasannya dan keberaniannya dengan
balutan sejarah dan budaya Jepang dalam proses memperjuangkan mimpi dan kebahagiaannya.
Juni, 2016
No comments:
Post a Comment