let's go get lost

[Book Review] The Scent of Sake - Joyce Lebra (2009)



Ketika membaca judul dan sinopsis novel diatas, saya langsung tahu kalau novel ini mengambil cerita dari Jepang. Jujur saja, sejak mencoba membaca novel karya Haruki Murakami, ketertarikan saya tentang Jepang meningkat. Tapi ketertarikan akan buku ini semakin meningkat ketika melihat nama penulisnya, Joyce Lebra, yang -menurut saya- sama sekali tidak ke jepang-jepangan.

Setelah melihat profil penulis dan sedikit browsing di internet, ternyata Joyce Lebra adalah seorang profesor di Universitas Colorado yang diakui sebagai ahli dalam kebudayaan perempuan Jepang, India dan Asia. Beliau tinggal di Jepang selama 10 tahun untuk melakukan penelitian tentang sejarah Jepang. Proses yang panjang memang mampu menghasilkan karya yang mengagumkan. Dalam The Scent of Sake, tulisan Joyce hidup dan mengalir, seperti ia pernah hidup di setting ceritanya. Ia menulis tentang kebudayaan, sejarah, arsitektur sampai perkembangan bisnis sake dari masa ke masa.

Buku ini bercerita tentang Rie, seorang anak perempuan yang merupakan pewaris bisnis sake keluarga Omura. Dengan setting waktu berpuluh-puluh tahun sebelum Edo berubah nama menjadi Tokyo, Rie hidup di sistem budaya Jepang kuno. Sebagai pewaris bisnis sake, Rie mempunyai kewajiban untuk meneruskan bisnis turun-temurun yang telah dikelola keluarganya selama 9 generasi, namun kehadirannya sebagai seorang anak perempuan membuat gerak-geriknya sangat terbatas. Pada masa itu, seorang anak perempuan haruslah berada di dapur. Urusan sake adalah urusan laki-laki. Bahkan kepercayaan yang berkembang mengatakan bahwa perempuan mampu membuat sake menjadi masam. Bagaimana mungkin Rei bisa mengemban tugasnya tanpa harus ikut campur sedikit pun tentang bisnis sake keluarganya?

Melalui Rei, Joyce mengangkat isu sosial terkait perbedaan gender yang sudah tertanam pada masa itu. Layaknya Kartini di Indonesia, Rei yang cerdas menempatkan dirinya sebagai perempuan yang tetap menjalankan kodratnya sambil melibatkan diri dalam keputusan bisnis tanpa berusaha terlihat ikut campur. Perjuangan Rei diwarnai dengan berbagai kesulitan, bahkan Rei harus rela mengorbankan kebahagiaannya sendiri demi kemajuan bisnis sake keluarga Omura.

Joyce juga bercerita tentang tradisi dalam bisnis sake yang dianggap sangat dihormati di daerahnya pada masa itu. Segala bentuk persaingan, strategi, inovasi dan keberanian dalam mengambil keputusan diceritakan dengan konfliknya sendiri-sendiri, juga tentang kesetiaan dan loyalitas. Kemampuan untuk cepat beradaptasi dengan perkembangan jaman dan modernitas diceritakan seiring dengan berakhirnya zaman Edo yang ditandai dengan masuknya bangsawan dan masyarakat yang semakin maju.  Sebuah bisnis turun-temurun yang diikat tradisi dengan ketat perlahan-lahan dikenalkan dengan bisnis sampingan dan istilah perusahaan perseroan. Bukan hanya dalam hal bisnis saja, pengaruh budaya barat dalam hal teknologi dan arsitektur juga diangkat ke dalam cerita.

Banyak hal baru yang saya dapat tentang budaya Jepang dalam novel ini, termasuk istilah-istilah dalam Bahasa Jepang yang diartikan melalui footnote. Misalnya kura yang berarti rumah sake, hibachi yang berarti perangkat pemanas tradisional Jepang, tatami yang berarti jenis tikar yang digunakan sebagai bahan lantai tradisional gaya Jepang, zabuton yang berarti sejenis bantal yang digunakan untuk duduk dilantai, kurabito yang berarti sebutan untuk pembuat sake, dan banyak lagi lainnya. Sangat menarik, menurut saya, ketika budaya dan sejarah yang nyata diperkenalkan melalui suatu kisah fiksi yang menginspirasi.

Pasang surut kehidupan Rei diceritakan secara cepat dan mengalir tanpa membiarkan pembaca kehilangan satu moment pun. Novel ini bercerita tentang kehidupan berpuluh-puluh tahun lamanya, seperti perjalanan hidup seseorang yang selalu diwarnai suka dan duka. Sampai halaman akhir, saya tidak menemukan konflik yang klimaks dan berujung penyelesaian seperti novel-novel lainnya, juga tidak ada adegan-adegan drama yang berlebihan. Setiap bagian cerita mempunya konflik, klimaks dan penyelesaiannya sendiri, tanpa ada yang menonjol berlebihan. Sekilas mungkin novel ini terasa berat dan membosankan, namun di situlah letak kenikmatan membacanya. Kita seakan-akan disuruh duduk santai menikmati kehidupan Rei; kegelisahannya, kebijaksanaannya, kecerdasannya, keibuannya, ketenangannya, ketegasannya dan keberaniannya dengan balutan sejarah dan budaya Jepang dalam proses memperjuangkan mimpi dan kebahagiaannya.



Juni, 2016
Share:

No comments:

Post a Comment