Pagi itu aku dibangunkan oleh suara kokok ayam
dan udara dingin yang masuk melalui celah-celah kecil potongan papan. Di dalam masih gelap.
Lantai papan beralaskan tikar, sebuah bantal kapuk dan selimut tebal menjadi
teman tidur ku sepanjang malam itu, bersama puluhan orang asing lainnya. Kami
tidur bersebelah-sebelahan membentuk lingkaran dalam satu rumah tradisional
yang hangat. Tanpa listrik, tanpa sinyal. Sederhana dan apa adanya.
Menyadari di luar sudah terang, aku buru-buru keluar, tidak mau melewatkan moment
pagi itu. Udara dingin dan sejuk, sejauh mata
memandang hanyalah beberapa rumah kerucut tinggi, pegunungan dengan pepohonan
hijau yang ditutupi kabut bergerak, dan beberapa orang yang juga sedang
menikmati pagi. Huah, nikmat sekali. Ku pejamkan mataku rapat-rapat sambil
menarik nafas dalam, menikmati detik demi detik berlalu... Dulu, Wae Rebo
adalah salah satu mimpi, dan sekarang Wae Rebo adalah salah satu mimpi yang
terwujud.
Ya, nama tempat itu Wae Rebo, sebuah desa di Kabupaten
Manggarai, Nusa Tenggara Timur yang terletak di ketinggian 1200 m di atas
permukaan laut. Orang-orang menyebutnya 'Desa di atas Awan'. Bagaimana tidak?
Untuk sampai di desa ini, aku harus melewati perjalanan panjang: 6 jam naik
motor dan 3 jam treking.
Naik Motor Menuju Desa Denge - Tanpa GPS
Umumnya, untuk pergi ke Wae Rebo, orang-orang
menggunakan transportasi mobil atau travel. Namun demi menghemat pengeluaran, kami
pergi menuju Wae Rebo bermodalkan sebuah motor yang di sewa dengan tarif Rp.70.000
per hari dari Labuhan Bajo. Bila biasanya rute yang dilalui mobil mengambil rute utara (mengarah
ke Desa Ruteng), kali ini kami mengambil rute jalur selatan: Labuan Bajo -
Lembor - Nangalili - Borik - Dintor - Denge. Dengan rute ini, kami menempuh
perjalanan yang lebih singkat, hanya 6 jam.
|
peta rute jalur selatan |
Kalau ada yang mengira perjalanan 6 jam naik
motor akan melelahkan, maaf kalian salah besar :p. Karena ternyata, selama perjalanan
kami sungguh disuguhkan pengalaman yang luar biasa seru. Mulai dari jembatan
yang belum selesai, jalanan mulus, jalanan berbatu, sampai jalanan putus.
Hahaha. Ya, jalan ini memang putus, diputus oleh aliran sungai dan itu terlihat
jelas di google map. Kami harus
membawa motor menyebrangi sungai kecil. Aliran airnya dangkal memang, tapi
sayangnya skill kami belum mencukupi
untuk membawa motor matic itu melewati sungai. Untungnya kami bertemu warga
lokal yang menawarkan diri untuk membantu.
|
jalan mulus |
|
jalan terputus sungai (1) |
|
jalan berbatu |
|
jalan terputus sungai (2) |
Belum lagi di sepanjang perjalanan kami bertemu
dengan segerombolan anak SD yang sedang berjalan kaki, mungkin hendak pulang ke
rumahnya. Dan lucunya, mereka sangat antusias melihat pengendara yang lewat,
terlebih lagi wisatawan. Kami tidak lupa menyapa dan memberikan salam tos
melalui motor, dan mereka membalas sambil tertawa kegirangan. Hahaha.
|
hai adik-adiiik, tos duluu :D |
Perjalanan ini juga tidak didukung oleh GPS.
Boro-boro internet, sinyal telepon saja tidak ada. Kami hanya mengandalkan map
yang di screen shoot, palang jalan dan warga lokal. Jalan yang kami lewati
cenderung sepi. Tidak ada SPBU, warung pun hanya terlihat sesekali. Tapi
sepanjang perjalanan, warga lokal sangat ramah dan tak segan membantu kami
menunjukkan arah.
Setelah memasuki Desa Nanga Lili, jalanan mulai
memasuki jalur tepi pantai. Sepanjang jalan kami bisa melihat laut dan pulau-pulau
yang terletak bersebelahan dengan pulau Nusa Tenggara Timur. Bagaimana bisa
perjalanan ini membosankan, kalau setiap berapa menit sekali kami berhenti, set
kamera dan kemudian berfoto-foto ria :D
|
pemandangan di sepanjang jalur pantai |
|
pemandangan sepanjang jaur pantai |
|
Pulau Mules dari kejauhan |
Lanjut Treking, Wae Rebo Sudah Semakin Dekat
Perjalanan dengan motor berhenti sampai di Desa
Denge dan kemudian dilanjutkan dengan treking selama 3-4 jam. Kami parkir di
Pos 1, motor dititipkan pada seorang kakek yang berjaga disitu. Untuk bisa naik
menuju ke Wae Rebo, ternyata setiap pengunjung harus ditemani oleh porter
lokal. Untunglah pada saat melewati Desa Denge, kami bertemu Eksi, pemuda yang
juga berasal dari Wae Rebo yang bersedia mengantarkan kami naik bahkan sampai
ikut menginap dan kembali mengantarkan kami pulang dengan selamat. Selama
treking, Eksi banyak bercerita tentang Wae Rebo.
|
Sampai di Pos 1 |
|
masyarakat Wae Rebo yang turun ke bawah dan kembali naik untuk membawa logistik |
|
jembatan ini pertanda Wae Rebo sudah dekat |
Ketika perjalanan sudah hampir sampai ke Desa
Wae Rebo, terdapat sebuah bangunan kayu bernama Rumah Kasih Ibu. Di rumah itu
terdapat sebuah kentongan yang harus dibunyikan untuk memberitahu bahwa akan
ada tamu yang datang ke Desa Waerebo, sebagai alat komunikasi karena di daerah ini sama sekali tidak
ada sinyal.
|
Rumah Kasih Ibu |
|
Pentungan Rumah Kasih Ibu |
Tak jauh dari Rumah Kasih Ibu, akhirnya kami
sampai di desa yang khas dengan rumah tradisional kerucutnya itu, Wae Rebo! Kami
langsung dibawa ke salah satu rumah, yaitu Rumah Gendang. Di rumah itu kami
bertemu dengan kepala adat dan disambut dengan upacara sederhana. Kemudian,
kami juga dijelaskan tentang peraturan yang berlaku di desa Wae Rebo, tentang
apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Selanjutnya kami diantarkan
ke salah satu rumah Mbaru Niang yang memang disediakan untuk wisatawan yang mau
menginap.
|
welcome to Wae Rebo!!! |
|
menjemur kopi. |
|
bersama kepala adat |
|
rumah baca di Desa Wae Rebo |
|
Anak-anak yang tinggal di desa Wae Rebo |
|
yang membedakan Rumah Gendang dengan rumah lainnya adalah tanda yang terdapat pada puncak atap rumah tersebut |
|
wisatawan bersama masyarakat lokal Wae Rebo |
|
suasana rumah asli masyarakat Wae Rebo, bagian bawah rumah dijadikan sebagai tempat penyimpanan barang atau tempat bertenun |
|
Anak-anak bersama salah satu wisatawan asing. Di Wae Rebo, wisatawan bebas melebur bersama masyarakat lokal. |
|
makan bersama. Hidup di Wae Rebo seperti pulang ke rumah dengan masakan rumah yang sederhana. |
|
Pencahayaan alami dari jendela rumah Mbaru Niang |
|
Area pemandian umum |
|
bersama Eksi, pemuda asal Wae Rebo yang baiiiik banget mau mengantar dan menemani kita selama di Wae Rebo |
Kereeen banget kaka, aku menikmati banget ceritanya dari mulai perjalanan. Ini sih Indonesia banget.
ReplyDeleteterimakasih sudah membaca kak :D
Deleteyaa, menurut saya semakin ke timur, semua nya semakin Indonesia :D
Mantapppsss.... Perjalanan naik motor dari Labuan Bajo ke Waerebo, itu benar-benar perjalanan yang menguji phisik.... Selamat ya sudah mendapatkan pengalaman dan pencapaian yang worth it bangettt.... :)
ReplyDeleteyapp, tapi dengan pengalaman yang didapat, capeknya hilang seketika haha
Deleteterimakasih sudah mampi ka evi :)
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteKebayang naik motor 6 jam pasti pegel ya kak, tapi kalo pemandangannya ciamik mah jadi lupa sama pegel. Perjalanan yang seru, menikmati banget ceritanya.
ReplyDeletepegel banget kaak, makanya kita siasati dengan foto" biar ga pegel dan ga bosan haha
DeleteYa ampuuun...naik motor emang seruuuu, tapi tanpa gps,duh, ga kebayang, aku pake gps aja masih nyasar, Kak. Tapi cerita perjalanan ke Wae Rebo naik motornya seru banget. Detail tapi ga ngebosenin. Aku tetep merinding ngebayangin motor matic sewaan nyeberang sungai. Its tough to live there, i bet.
ReplyDeleteyes, but thanks to warga lokal yang udah bantuin kita banyak ttg info arah. bener" takut bertanya sesat di jalan dah kak haha
DeleteKeren banget Kak, dari mulai motoran 6 jam sampe tracking 3 jam. Tapi kayaknya gabakal cape si kalo 9 jam perjalanan disuguhin pemandangan yang waw. Kebayar semuanya.
ReplyDeleteapalagi bisa sampai di tujuan dan ternyata yang kita dapatkan sesuai ekspektasi, terbayar semua capeknya :D
DeleteKeren euy kak vio. Saya naik motor lebih dari 5 menit langsung masuk angin. Sebelum traking ke waerebo saya naik mobil tapi sebentar2 berhenti...menikmati kerennya lanscape sepanjang perjalanan... btw, ditunggu ya tulisan perjalanan seru kak vio lainnya
ReplyDeletehalo kak tuty, yaa landscape di sepanjang perjalannya memang keren banget kak. kalau naik mobil katanya jalannya cukup berkelok ya? saya ketemu sesama wisatawan di Wae Rebo, dan dia cerita anaknya sampai mabok darat selama perjalanan dari Bajo ke Wae Rebo naik mobil :"
DeleteMantab sekali, sungguh pegalaman luar biasa mengunjungi waerebo via Lembor. Waerebo memang mengundang setiap mereka pencinta tradisi, jadi ingat ekspedisi budaya ditempat tanpa sinya
ReplyDeleteberhari-hari hidup tanpa sinyal pun sudah menjadi cerita tersendiri ya kak :D
Deleteterimakasih sudah mampir :)
Wow gak lewat ruteng yah.. Memang sblm ruteng ada petunjuk arah ke kanan arah wae rebo sih. Ternyata jalannya menantang jg yah..
ReplyDeleteiya kak, dan hanya bisa dilewati motor karena jalannya sempit dan ada yang terputus.
DeleteWow gak lewat ruteng yah.. Memang sblm ruteng ada petunjuk arah ke kanan arah wae rebo sih. Ternyata jalannya menantang jg yah..
ReplyDeleteWah, seru banget baca cerita kalian.. gw ngebayangin itu pasti perjalanan yg bnyk adrenalin rush-nya..hehe.. perhitungan waktunya hrs presisi dong ya biar ngga kemalaman di jalan..
ReplyDeletebenar kak, karena kita pun waktu itu ga bawa perlengkapan treking utk malam hari seperti head lamp dll. jadi mau gak mau, kita sudah harus sampai wae rebo sebelum gelap :'D
Deletenaik motor kayaknya akan ngasih kepuasan yang berbeda. serunya jelajah kota dengan pemandangan yang luar biasa
ReplyDeleteterimakasih sudah mampir kak Elsa, salam kenal :D
DeleteSeru banget Kak perjalanannya ke Wae Rebo. Kakak jadi cewek sendiri saat bareng sama temen2 kakak? Klo iya, tipsnya gimana sih Kak biar bisa dikasih izin orang tua? Hehe
ReplyDeletekebetulan kita kemarin jalan hanya berdua dengan teman. tips nya? dari dulu saya memang sudah dikasih ijin kemana-mana oleh orang tua, asal syaratnya satu: jangan minta uang hahaha
DeleteKak kak kak waawwhh asik bangettt..
ReplyDeleteAku jg kalo traveling lebih suka sewa motor pas di sananya. Lebih leluasa.
Btw viewnya bagus banget 😍
AKu mupeng banget baca ini. Naik motor dari Labuhan Bajo ke Wae Rebo...warbiyasaaah..worth it banget. Ketemu pemandangan ketje begitu.
ReplyDeleteJuga masyarakatnya, saluut dengan budaya yang masih kuat