let's go get lost

Showing posts with label short story. Show all posts
Showing posts with label short story. Show all posts
,

Simalungun Au Nimu


Aku mengadahkan wajahku ke langit-langit kamar. Tanganku terangkat, memegang secarik kertas bertuliskan "Bazaar Teknik" dengan angka Rp 40.000 di kanan bawahnya. Kupon bazaar makanan. Rutinitas setiap tahun yang harus dijalankan sebagai mahasiswa di kampus untuk mendukung kegiatan BEM Fakultas: menjual bazaar kupon makanan. Memang, semakin kita berstatus senior, jumlah kupon yang harus dijual semakin sedikit. Tapi untuk anak kos seperti ku, menjual kupon merupakan suatu persoalan ketika teman sepermainan juga sama-sama seorang perantau yang harus pandai-pandai supaya cukup makan sampai akhir bulan.

Tiba-tiba terlintas di kepalaku seseorang yang mau menolong untuk membeli kupon ini. Segera ku raih handphone lalu mengetik SMS dengan cepat.

Bang, aku ada kupon bazaar teknik. Abang beli yaa bang, 40 ribu ajaa :D

Tanpa basa basi kutekan icon send. Message sent!

Dia sudah aku anggap seperti abang ku sendiri. Namanya Roy, aku memanggilnya Bang Roy. Dia mempunyai marga yang sama dengan marga Papa. Jadi, secara adat bisa dibilang kami ini saudara kandung, berasal dari opung (kakek) yang sama (walaupun tidak tau opung yang mana karena harus ditelusuri jauh ke atas) dan tentunya kami tidak boleh pacaran apalagi menikah.

Kami saling mengenal di GKPS Denpasar. GKPS adalah kependekan dari Gereja Kristen Protestan Simalungun, gereja suku Batak Simalungun. Aku terlahir sebagai orang Simalungun dari kedua orang tua yang juga Simalungun. Sejak kecil kami sudah bergereja di GKPS. Mama dan Papa menerima pemberkatan pernikahan di GKPS, kemudian kami anak-anaknya tardidi (baptis) di GKPS sampai kemudian marguru (belajar sebelum menerima baptis dewasa) dan angkat sidi (baptis dewasa).

Seperti pesan opung ku kepada Mama yang kemudian diteruskan kepada kami, anak-anaknya, "Kemanapun kalian merantau, langsung cari gereja yang tetap. Kalau perlu urus surat pindah dari gereja yang lama. Aktif dan ikut ambil bagian di gereja tersebut. Karena kalau hal terburuk terjadi pada kalian, jemaat gereja bisa membantu." 

Itulah yang mendorong ku untuk kemudian sebisa mungkin mencari GKPS dimanapun aku berada. Selain itu, peluang bertemu saudara-saudara lebih besar dan kekeluargaannya lebih terasa. GKPS menjaga ku untuk tetap dekat pada adat istiadat Simalungun. Bahasa Simalungun, lagu-lagu Haleluya yang berbahasa Simalungun, tarian Simalungun, pakaian adat Simalungun. Dan... yaa, kali aja bisa dapat jodoh orang Simalungun :P

Mengikuti jejak Mama yang dulunya seorang penari Simalungun, aku dan kakak ku sudah didaftarkan di sebuah sanggar tari Melayu sejak SD. Kemudian pada saat SMP, kami melanjutkan ke sanggar tari Simalungun dan kerap kali diundang untuk mengisi acara di pernikahan adat Simalungun atau acara pergelaran budaya daerah di Medan. PRSU (Pekan Raya Sumatera Utara) merupakan panggung terbesarku. Tak hanya berhenti disitu, semangat budaya Simalungun juga kami bawa ke Pulau Dewata. Ternyata bisa menari di kampung orang jauh lebih mengesankan! Lagu-lagu Simalungun yang sering mengiringi tarian sudah menjadi teman. Deideng, Tolu Sahundulan, Sitalasari, Sermadengan-dengan, Horas Simalungun, Martonun, Haruan Bolo...

Drrrrttt....drrrrtttt...

Aku tersentak dari lamunanku dan segera meraih handphone yang bergetar. Satu pesan baru, datang dari Bang Roy.

Alo nang.

Balasan yang sangat singkat. Hanya berisi dua kata. Bang Roy memang terbiasa memanggilku nang. Katanya itu panggilan sayang dalam bahasa Simalungun untuk adik perempuan yang biasa dipakai di kampung. Kalau alo? Apa karena aku belum menyampaikan salam dulu ya, sehingga bang Roy membalas dengan alo? Mungkin maksudnya 'halo'? Tanpa berfikir panjang segera ku balas sms bang Roy. 

Iya, halo baaang. Gimana bang mau ga beli kuponnya? Mau yaa..

Semenit kemudian handphone ku kembali bergetar, muncul lagi balasan dari Bang Roy. 

Alo itu artinya 'iya' nang.

Hngg.. hening.

HUUAAHAHA! Aku menertawakan kebodohanku sendiri. 

Masih balasan yang singkat, tapi kali ini cukup membuatku berteriak malu. Sayup-sayup terngiang salah satu lagu Simalungun di kepalaku, seakan menyindir. Simalungun au nimu, Simalungun au nimu. Bahasa ni pe lang i botoh ham~



- July 2017
Share:
Read More
,

Ulang! (Bukan) Pulang!

[inspired by true story]


Aku mengetuk-ngetuk jari ke layar handphone yang menunjukkan waktu pagi itu. Gawat, 5 menit lagi! Ayo ngebut dong pak sopir, teriakku dalam hati. Sekolahku tinggal berjarak 1 km lagi, tapi keadaan angkot yang dari tadi sibuk menurunkan penumpang mahasiswa di universitas negeri di dekat sekolah memperlambat jarak tempuh. Kalau bukan karena mendapat jadwal bertugas sebagai pemimpin paduan suara, aku tidak akan sepanik ini. Ah, kesiangan sialan! Hanya telat beberapa menit saja jalanan sudah ramai. Tiga angkot yang ku stop meninggalkan ku begitu saja dengan tega karena penumpangnya sudah penuh.

Ditambah lagi perut yang mules akibat gugup membayangkan aku akan berjalan ke depan dan memimpin paduan suara pada saat upacara nanti, walaupun ini bukan pertama kalinya. Sebagai anggota paskibra sekolah, setiap angkatan akan digilir untuk bertugas pada upacara senin pagi. Kebetulan pagi ini merupakan jadwal angkatan ku, angkatan 13.

Sesampainya di sekolah, gerbang masuk sudah sepi. Aku langsung melompat dari angkot, membayar ongkos dan berlari menuju gerbang sekolah.

“Cepat! Cepat! Sudah mau mulai upacara itu!” teriak Pak Site, satpam yang sudah kukenal baik akibat kebiasaan ku yang selalu bermasalah dengan waktu.

Benar saja. Sesampainya di lapangan upacara, semua siswa sudah berkumpul menunggu dibariskan. Untung belum mulai. Segera ku letakkan tas ke ruangan yang menjadi tempat tujuan pertama anggota Paskibra (yang umunya menjadi pengurus OSIS) di sekolahku setiap pulang sekolah, yaitu ruang OSIS, kemudian berlari secepat mungkin ke lapangan upacara.

Menjadi murid perempuan di sekolah STM membuatku menjadikan ku sebagai kaum minoritas, jumlah kami hanya sekitar 10% dari total keseluruhan murid laki-laki. Makanya, setiap upacara kami berbaris terpisah dengan murid laki-laki dan bertugas sebagai paduan suara. Segera kusiapkan kelompok paduan suara dan mengambil barisan di paling kanan, tempat pemimpin paduan suara.

Upacara pun dimulai. Baru saja masalah kepanikan akibat insiden hampir terlambat selesai, masalah yang lain muncul lagi. Jantung berdetak cepat dan perut mules, gugup. Aku mencoba menenangkan diri sampai giliran ku memimpin paduan suara untuk lagu Indonesia Raya. Pengibar dari angkatanku sudah bersiap-siap dan jalan tegap menuju tiang bendera dengan kaki berderap serentak. Aku menarik nada dasar lalu kelompok paduan suara bernyanyi. Bertepatan dengan berakhirnya lagu Indonesia Raya, bendera sampai di ujung tiangnya. Hufft, berhasil.

Kemudian upacara dilanjutkan sampai tiba saatnya menyanyikan salah satu lagu nasional. Giliranku lagi. Aku menarik napas dan mengambil langkah tegap ke depan kelompok paduan suara, dan seketika itu juga menyadari bahwa aku belum mempersiapkan lagu yang akan dinyanyikan. Astaga! Lagu nasional.. lagu.. lagu… Pancasila saja! Pikirku cepat. Segera aku menarik nada dasar yang diikuti oleh nyanyian tim paduan suara. Bait pertama lancar.. bait kedua lancar.. Sampai di pertengahan lagu, tempo lagu mulai tidak jelas. Aku sampai harus mengeraskan suaraku agar siswi yang lain mengikuti. Lama kelamaan tempo makin hancur, tim paduan suara berlomba-lomba menyanyi sampai di akhir lagu dan kemudian terdengar suara gaduh bercampur gelak tawa murid laki-laki. Sial!!

Aku tertunduk malu dan langsung menghadap ke kiri untuk bersiap kembali ke barisan. Andai saja muka ini bisa dicopot dan disimpan di kantong untuk sementara. Tapi tiba-tiba…

 “PULANG!” teriak sebuah suara dari mikrofon.

Suara tegas itu milik Pak Aswar, kepala sekolah yang berdiri di podium sebagai pembina upacara. Aku terkejut. Hah? Pulang??? Oke, tidak bisa memimpin paduan suara dengan baik dan mengakibatkan kegaduhan di tengah-tengah upacara memang sebuah kesalahan, tapi disuruh pulang? Masa iya aku harus lari ke ruang OSIS mengambil tas lalu pulang ke rumah karena kesalahan pagi ini? Di benakku langsung terbayang gambar diriku yang menunduk malu, menyeret koper dan berjalan pulang seperti peserta pencarian bakat tereliminasi. Aku terdiam sejenak, bingung, panik.

“Ri! Ayo Ri mulai lagi. Ri!” bisikan seorang teman menyadarkan ku. Hah? Aku makin bingung.

“ULANG!” teriak Pas Aswar dari podium, lagi.

Ulang? Pulang? Pulang? Ulang? Oh, ulang! Otakku langsung bekerja lebih cepat sepersekian detik menyadari apa yang telah terjadi. Ternyata dari awal Pak Aswar mengatakan ulang, bukan pulang. Aku langsung bersiap-siap dan kembali menarik nada dasar. Kali ini dengan anggukan dan senyuman elegan agar tim paduan suara mau diajak kerja sama. Tim paduan suara pun mulai bernyanyi. Bait pertama lancar, bait kedua lancar, reff lancar kemudian ditutup dengan serentak tanpa berlomba-lomba lagi. Aku memberi tanda penutup sambil tersenyum lega, kemudian kembali ke barisan.

Huuuuffffftttt, legaaa... Upacara berakhir dengan penghormatan pembina upacara dan pemimpin upacara. Peserta upacara tidak lagi bersiap dan lebih santai. Kemudian Pak Simson, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan yang terkenal galak tapi baik hati naik ke atas podium lalu mengambil mikrofon.

“Dengarkan! Upacara pagi ini sudah selesai. Dan kalian, cewek-cewek paduan suara tinggal dulu di lapangan. Nyanyi apa itu kek gitu?! Yang lainnya boleh masuk kelas!” tatapannya tajam kearah kelompok paduan suara lengkap dengan logat bataknya yang khas.
Deg! Gawat, mati aku maaaakk...!! 

- Juli 2016
Thanks to SMKN 1 PST for giving me
 so many unforgettable super 
exciting high school memories
Share:
Read More

Ketinggalan Kereta di Jakarta

sumber : infojalan-jalan.com

Kata orang, hidup di Jakarta itu keras. Jakarta hanya untuk orang-orang yang mau berjuang dan sigap. Tidak ada kata manja. Lambat sedikit akan tertinggal. Telat sedikit jalanan sudah macet. Orang-orang berlari. Mengejar transjakarta, berimpit-impitan di commuter line. Semuanya demi bekerja dan bertahan hidup di ibukota Indonesia bernama Jakarta.

Setelah 4 hari bertualang di Belitung, saya dan teman saya hendak pulang ke Jember. Tidak ada penerbangan langsung, sehingga kami harus singgah di Jakarta lanjut naik kereta ke Surabaya lalu ke Jember. Dengan kondisi keuangan yang menipis, kami memutuskan menggunakan kereta ekonomi yang tiketnya baru ada beberapa hari kemudian. Alhasil, kami mengunjungi rumah panggi (panggilan untuk adiknya ayah paling kecil, dalam batak Simalungun) saya di Depok, sekalian menunggu hari keberangkatan.

Kereta dijadwalkan berangkat pukul 11.00 WIB. Dari Stasiun Pasar Senen, kami menggunakan kereta Jayabaya dengan tujuan Surabaya, lalu mengambil kereta Probowangi ke Jember. Sehari sebelum keberangkatan, panggi sudah menyarankan untuk berangkat jam 08.00 WIB dari Depok, supaya perjalanannya santai dan tidak terburu-buru, lalu naik commuter line dan gojek menuju Stasiun Pasar Senen. Kami yang tidak tahu apa-apa mengenai Jakarta pun menurut saja, yang penting sampai di Stasiun Pasar Senen.

06.30 WIB
Keesokan paginya kami bangun dan bersiap-siap. Tas dan barang bawaan sudah di packing malam sebelumnya.

08.00 WIB
Setelah mandi dan sarapan, kami diantar menggunakan mobil menuju stasiun kereta Depok. Sesampainya di stasiun, sudah banyak orang yang lalu lalang kesana kemari. Katanya jam segini memang jamnya orang pergi kerja. Kami membeli tiket dan diantar nanggi (panggilan untuk istrinya panggi, dalam batak Simalungun) untuk naik kereta. Ada dua buah kereta yang berhenti dengan pintu terbuka. Dua-duanya sudah penuh. Saking penuhnya, saya rasa orang yang di dalam tidak perlu lagi berpegangan pada handle yang menggantung di kereta. Setelah menunggu lama, kereta tidak juga berangkat. Akhirnya kami mendapat info bahwa kereta sedang eror karena ada kereta yang anjlok.
Kami pun segera keluar dari stasiun yang masih penuh dengan orang lalu lalang. Belum lagi tas travel besar yang harus kami jinjing kesana-kemari. “Ada kereta yang anjlok. Tadi pagi ternyata udah ada beritanya di TV, tapi kita nggak liat karena Ale nonton kartun” Panggi langsung memberi informasi yang didapatnya dari petugas stasiun. Oalaah..

09.00 WIB
Kami buru-buru kembali ke mobil. Jalanan tambah ramai dan padat. Orang-orang pasti pada turun ke jalan mencari alternatif lain. Orderan gojek meningkat, mobil di jalanan pun meningkat. Akhirnya panggi memutuskan untuk mengantar kami dengan mobil. Namun perjalanan rasanya lama sekali, dimana-mana macet. Klakson disana-sini. Jam pun terus berputar menuju angka 11. Gawat. Kami mulai panik.

10.00 WIB
Akhirnya panggi menyarankan agar kami melanjutkan perjalanan ke Stasiun Pasar Senen menggunakan gojek, biar bisa ngebut dan nyalip. Kami menurut. Di bawah jembatan penyebrangan, kami menunggu dua pesanan gojek. Keadaan masih ramai, padat dan bising. Petugas kepolisian sibuk menertibkan mobil dan motor yang parkir menghalangi jalan, orang-orang sibuk mengejar waktu. Begitu juga saya, sibuk menunggu gojek vario putih.
“Mas Ari ya?” tanya saya kepada pengendara vario putih dengan jaket hijau khas gojek
“Ke Kalibata ya mbak?” tanyanya lagi sambil sibuk melihat gadgetnya
“Bukan mas, saya order ke Stasiun Pasar Senen tadi. Orderannya Laura”
“Loh, saya ke Kalibata mbak. Yang order Tina. Mbak Tina bukan?
“Ehhh salah berarti mas. Bukan saya.” saya cuman bisa garuk-garuk kepala, bingung. Mas gojek vario putih orderan saya tak kunjung datang.

10.20 WIB
Akhirnya saya bertemu dengan mas gojek saya yang ternyata dari tadi sudah kebingungan nyari pengordernya. 40 menit lagi kereta berangkat. Setelah berpamitan singkat dengan panggi dan nanggi, kami tancap gas menuju Stasiun Pasar Senen. Jalanan masih padat dan macet, belum lagi teriknya matahari. Untuk meredakan kepanikan, saya coba ngobrol dengan mas-mas gojeknya.
“Mas, pasar senennya udah dekat kan ya dari sini?”
“Wahh.. nggak mbak. Masih jauh dari sini, apalagi macet begini” jawab mas gojek dengan polosnya. Jleb! Sungguh jawaban yang tidak diinginkan. Bukannya jadi lebih tenang, saya malah makin panik.
Sambil menembus kepadatan Jakarta yang terik, saya mengatur rencana dengan teman saya yang sudah jalan di depan dengan gojek lain. Nanti begitu sampai di stasiun langsung lari ngeprint tiket ya cong, nanti aku yang ngecek keretanya. Oke, jawabnya.

11.00 WIB
“5 menit lagi nyampe nih mbak”, kata mas gojeknya. Benar saja, 5 menit kemudian saya sampai di depan stasiun. Saya langsung lari setelah membayar gojek dan mengucapkan terimakasih karena sudah mau ngebut demi penumpangnya yang mengejar kereta. Di depan, saya juga lihat teman saya yang juga lari-lari sambil membawa tas travel.
“Jayabaya udah berangkat, Mbak!” teriak seorang bapak kearah kami. Sampai sekarang, darimana bapak tersebut tahu kami mengejar Jayabaya masih menjadi misteri. Teman saya langsung mengambil antrian untuk print tiket, sedangkan saya lari ke bagian gate boarding kereta.

11.10 WIB.
“Jayabaya disini ya pak?” saya bertanya sambil ngos-ngosan
“Jayabaya udah berangkat barusan, mbak.” Jawab bapak petugas kereta. Saya sampai bertanya 3 kali kepada bapak itu, yang dijawab dengan jawaban yang sama.
Haaahh, tubuh saya lemas. Terbayang dua tiket kereta seharga Rp.100.000 melayang begitu saja. Airmata sudah mau keluar membayangkan perjuangan mengejar kereta dari pagi tadi. Teman saya datang dengan dua tiket yang telah di print di tangan, dengan muka yang sama lemasnya.
Kereta tidak bisa dikejar dan tiket tidak bisa direfund. Tidak ada tempat menginap untuk menunggu kereta keesokan harinya. Kami pun memutuskan untuk membeli tiket kereta Kertajaya untuk keberangkatan pukul 14.00 WIB. Masih kereta ekonomi, tapi harganya lebih mahal, Rp. 150.000. Jadwal sampainya masih bisa mengejar kereta Probowangi yang dijadwalkan berangkat pukul 04.00 WIB dari Surabaya. Untung saja sebelumnya panggi memberikan uang jajan, lumayan untuk beli tiket kereta baru. Tuhan memang tidak pernah memberi cobaan diluar kemampuan anakNya, hehe.

12.30 WIB
Kami mendapat tiket kereta Kertajaya.

13.00 WIB
Makan siang. Beli seporsi soto dengan tambahan nasi satu bungkus. Murah dan tetap kenyang.

14.00 WIB
Berangkat dari Stasiun Pasar Senen menuju Surabaya.

Keesokan harinya, 02.00 WIB
Sampai di Surabaya.

04.00 WIB
Berangkat dari Stasiun Pasar Turi menuju Jember.

09.00 WIB
Finally, sampai di Jember dengan selamat.


Jakarta sungguh memberikan kami pengalaman yang luar biasa.


- Juni, 2016
Share:
Read More
,

Kamu, Si Gadis Bunga Desember



source : google.com
Sore itu angin berhembus kencang, menghantarkan hawa dingin ke sekujur tubuhku. Dengan refleks, ku rapatkan jaket yang sudah menemaniku dari semalam. 30 November 2014. Minggu sore yang sejuk. Jam tangan ku menunjukkan pukul 4. Aku dan dua orang teman ku baru saja selesai membereskan tenda dan perlengkapan lain yang kami gunakan untuk bermalam. Aku melihat sekelilingku, memastikan tidak ada barang yang tertinggal, terutama sampah. Sudah begitu luar biasa keindahan yang diberikan semesta. Mengotorinya bukanlah salah satu bentuk ucapan terimakasih kepada padang rumput di tepi danau Buyan yang kami gunakan sebagai tempat kemah selama dua hari satu malam ini.

Untuk merefresh pikiran setelah satu semester dicekoki dengan mata kuliah dan tugas, aku dan teman-temanku memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan dengan kemah di area perkemahan Danau Buyan. Lokasinya yang terletak di daerah Bedugul -daerah dataran tinggi- membuat area ini memiliki iklim yang sejuk. Jaraknya juga tidak terlalu jauh dari Denpasar, hanya 2 jam dengan mengendarai mobil. Area ini menawarkan pengalaman kemah dengan view danau Buyan. Tidak heran banyak anak muda yang menghabiskan weekendnya sama sepertiku, mungkin juga seperti kamu. Bangun tenda, ngobrol, main gitar, tertawa, ngemil, minum, memandangi bintang ditemani dengan sebuah lampu baterai kecil.

Aku melihat sekelilingku sekali lagi. Kali ini benar-benar melihat ke sekeliling sambil berjalan kearah mobil yang akan membawa ku pulang ke Denpasar. Aku memegang sebuah buku, hanya kebiasaan. Kalau-kalau keadaan memaksaku untuk menunggu. Aku memperhatikan beberapa kelompok anak muda yang juga sedang membongkar tendanya. Ada 4 tenda yang berdiri di area ini sepanjang malam, dan aku belum menyadari kalau salah satu dari tenda itu adalah tenda mu. Akhir pekan telah usai. Aku selalu bertanya-tanya kenapa hari Minggu dan hari Senin itu jaraknya dekat sekali, tetapi hari Senin dan hari Minggu jaraknya jauh berhari-hari. Mungkin itulah alasan orang untuk membenci dan mengutuki hari Senin. Tapi tidak untukku. Aku yakin aku tidak akan membenci hari Senin, karena besok sudah memasuki masa minggu tenang. Libur. Seminggu. Seharusnya kupakai untuk belajar mempersiapkan UAS, tapi sepertinya belanja buku dan tenggelam didalamnya lebih seru. Aan Mansyur, Robert Galbraight, Haruki Murakami atau Dan Bro...

"ADUUHH!" sebuah tabrakan keras menyadarkan ku dari lamunan tentang buku apa yang akan aku beli nantinya, diikuti suara seorang gadis yang jatuh dihadapan ku. Suaramu. Seorang gadis manis. Kamu memakai jeans dan jaket tebal yang membungkus tubuh mungilmu. Rambutmu digerai dengan poni rata menutupi dahi. Diatas kepalamu terdapat sebuah topi kupluk merah jambu menyerupai bola berbulu tebal, bukan berbahan rajut seperti topi kupluk kebanyakan, melainkan berbahan ratusan atau ribuan benang pendek berwarna merah jambu cerah yang mencuat seperti...

"Bunga Desember.." kata ku pelan saat melihatmu pertama kali.

"Duuuhh, bukannya dibantu malah ngeliatin. Apa lo bilang tadi?" Kamu mengaduh lagi sambil membersihkan tanah dan rumput yang menempel di jaketmu. Dari aksenmu aku mengira mungkin kamu berasal dari Jakarta.

"Eeehh.. Maaf, maaf.." Jawabku, tak sadar kamu sudah bangun sendiri. Mungil sekali. Tinggi mu hanya setinggi lenganku. Pantas saja saat bertabrakan kamu sampai jatuh tapi aku tidak kenapa-kenapa. Pada saat itu aku berfikir mungkin wajah mu hanya sebesar telapak tanganku.

"Nih, buku lo" kamu berkata singkat, memberikan bukuku yang kamu pungut, lalu pergi begitu saja. Saat itu aku menyesal tak langsung menanyakan namamu atau asalmu. Gadis Bunga Desember, aku menyebut mu begitu.

"Woii, liat apa? Melamun khe ya? Awas kesambet leak khe." Wayan menyadarkan ku dengan logat khasnya. Temanku yang satu ini memang asli orang Bali.

"Cepat kau Gir, aku mau ketemu lagi sama cewekku nih! Udah nunggu dia di Denpasar." Danu nimbrung. Kalau yang ini asli orang Medan. Merantau ke Bali hanya untuk kuliah.

"Iya..iyaa.." Jawabku cepat sambil berjalan ke mobil. "Udah semua nih? Gak ada yang ketinggalan kan?"

"Udah. Tancap lae!" Jawab Danu.

Aku menghidupkan mobil dan kembali melihat sekeliling. Melihat kamu yang masih sibuk membereskan tenda, tertawa dengan teman-teman mu. Kemudian menginjak gas dan berjalan menjauh. Masih terus memikirkan mu, ingatanku kembali ke masa lampau, bertahun-tahun lalu. Masih jelas di ingatanku, seperti scene salah satu film yang diulang kembali.

Waktu itu ada Ibu, aku dan bunga. Ibu adalah orang yang paling suka bunga yang pernah aku temui. Papa sampai membuatkannya taman kecil untuk tanaman hias koleksinya. Paling banyak tanaman anggrek. Ada yang digantung, ada yang ditaruh dalam pot. Namun yang paling menarik perhatianku adalah salah satu pot yang tidak ada tanamannya.

"Bu, kenapa pot yang itu tidak ada tanamannya?" aku penasaran.

"Ada anakku, tapi sekarang dia belum muncul. Namanya Bunga Desember. Dia akan berbunga saat musim hujan tiba. Karena curah hujan umumnya makin tinggi saat bulan Desember, bunganya pun mulai tumbuh saat bulan Desember. Di dalam tanah yang ada di pot itu, ada umbi yang akan tumbuh dan berbunga." Saat itu, Ibu menjelaskan sambil menyirami beberapa tanamannya.

Penjelasan Ibu membuatku makin penasaran. Sudah beberapa Desember terlewati dalam hidupku, tapi aku tak pernah menaruh perhatian sedikitpun kepada bunga Desember. Tidak pernah melihat bentuk dan warnanya seperti apa. Sejak saat itu aku menanti tumbuhnya bunga Desember. Dua bulan lagi, pikirku.

Memasuki akhir November, aku semakin sering mengunjungi taman kecil Ibu. Melihat bagaimana umbi bunga Desember muncul sedikit demi sedikit. Lalu ketika bulan Desember dan musim penghujan tiba, sedikit demi sedikit tunasnya mulai muncul. Diikuti kelopak bunga yang mulai tumbuh dan akhirnya mekar. Bunga Desember cantik sekali. Bunganya berbentuk payung dan berkoloni membentuk bola. Ada warna kuning di ujungnya. Seperti luncuran kembang api saat tahun baru.

Namun selagi aku sibuk mengamati dan mengagumi bunga Desember ditengah derasnya hujan di luar sana, sesuatu yang tidak pernah aku inginkan terjadi. Aku mendengar pecahan piring bersamaan dengan bentakan Ayah, lalu disusul tangisan Ibu. Makin hari makin menjadi. Bahkan sesudah bunga Desember layu dan menghilang pun -ternyata bunga ini hanya mekar selama beberapa hari-, mereka tetap bertengkar. Aku tidak mengerti, yang ku tahu keesokan harinya Ayah pergi dan tidak pulang lagi kerumah. Lalu aku diantar ke rumah Nenek oleh Ibu. Ibu menangis didepanku, mengusap kepalaku dengan sayang, kemudian pergi. Sampai sekarang tidak kembali.

Kamu tahu? Sejak saat itu aku menyesali keingintahuanku akan bunga Desember, sampai tadi aku bertemu dengan kamu, si gadis bunga Desember, untuk pertama kalinya.

*****

"Hei! Lo yang kemaren nabrak gue di Buyan kan?" seseorang mengejutkanku. Saat itu aku sedang menghabiskan waktu sore ku di cafe kecil yang ada di daerah Renon, membaca buku kumpulan puisinya Aan Mansyur yang belum selesai ku baca sejak sebulan yang lalu. 1 Desember 2014. Di luar sedang hujan deras. Sudah mulai memasuki musim penghujan. Aku mendongakkan kepalaku dan melihat kamu, si gadis bunga Desember.

"Ehh.. kamu bung.. ehh.. iya, kamu yang semalam aku tabrak. Hai." Jawabku kaget. Saat itu aku sangat berterimakasih kepada semesta karena kembali mempertemukan aku dengan mu.

"Boleh sharing gak mejanya? Cuma di tempat duduk ini aja yang ada colokannya. Buat laptop." Katamu sambil menunjukkan ransel dibelakangmu.

"Iya boleh, duduk aja" Jawabku, masih tak percaya kamu muncul dihadapanku. Topi kupluk merah jambu itu tidak lagi bertengger diatas kepalamu. Rambutmu diikat keatas tidak terlalu tinggi, jelas memperlihatkan bentuk mukamu. Rahangmu. Pipimu. Matamu. Kali ini kacamata dengan frame hitam menghiasi wajahmu. Manis.

"Makasih ya.. Aku Tara, kamu?" Lo-gue berganti menjadi aku-kamu, mungkin kamu ingin menghargaiku yang tidak biasa ber-lo-gue sama sekali. Segera aku sambut uluran tangan mu dengan senang hati.

"Giri." Aku tidak bisa melepaskan pandanganku darimu. Kamu duduk, memasang kabel pengisi baterai dan mulai membuka laptopmu. Tergesa-gesa. "Diburu deadline ya?"

"Ehh.. Iya nih.. Harus nyetor kerjaan gambar sebelum jam 6 sore. Via email sih" jawabmu.

"Kerja apa?"

"Nggak kerja sih, freelance aja. Masih kuliah soalnya di Unud." Sesekali kamu membetulkan kacamatamu yang merosot dengan jari telunjuk.

"Oh ya? Aku juga kuliah di Unud. Teknik Mesin. Kamu?"

"Aku ambil Teknik Arsitektur. Kok ga pernah lihat kamu ya?"

"Iya.. Aku juga belum pernah tahu kamu sebelumnya. Padahal gedung kita sebelah-sebelahan." Aku langsung mengutuki diriku yang selalu langsung meninggalkan kampus seusai kuliah. "Kamu.. mirip bunga desember ya?" Lanjutku. Percayalah, ketika kamu tertarik dengan seseorang, kamu tidak akan mengira kata-kata apa yang bisa keluar dari mulutmu.

"Bunga Desember?" Kamu memiringkan kepalamu sedikit ke kiri ketika ingin tahu.

"Iya, bunga yang muncul saat musim penghujan tiba. Biasanya berbunga di bulan Desember. Bunganya cantik. Kamu juga cantik." Gombalan terkonyol yang pernah aku lakukan. Sial.

"Hahaha.." Kamu tertawa mendengar penjelasanku. Suara tawamu renyah. "Kamu aneh. Anak Teknik Mesin, badan tinggi tegap, rambut gondrong, tapi penyuka bunga dan bacaannya Aan Masyur." Kamu melirik kecil kearah buku yang ada ditanganku. "Di kafe, sendirian pula. Seharusnya kamu itu dengerin music hardcore, pake baju hitam-hitam, nongkrong sama teman-teman mu dan gombalin cewek-cewek kekinian."

"Wow.. woow.. Begitukah kalian para wanita menilai seorang anak Teknik Mesin?" Aku membela diri yang dibalas dengan suara tawamu sambil mengangkat bahu. Sore itu hujan masih jatuh dengan derasnya, langit kelabu dan jalanan sepi. Tapi satu yang aku sadari, aku telah jatuh hati kepada seorang gadis dihadapanku. Kepada kamu, si gadis bunga Desember.

****

Begitulah pertemuan kedua kita yang sampai sekarang masih ku ingat. Sudah enam hari berlalu. Aku masih bisa merasakan renyah tawa mu, cara mu membetulkan letak kacamatamu atau kepalamu yang kamu miringkan sedikit ke kiri ketika rasa ingin tahumu datang. Aku senang ketika kita bersepakat untuk saling bertukar kontak dan semakin dekat dari hari ke hari. Aku bersyukur kepada semesta yang seakan-akan mengerti perasaan ku kepadamu. Aku tahu, akan terlalu cepat untuk mu jika aku terus terang tentang perasaan ku. Bahkan untuk bertanya bahwa kamu sudah punya kekasih saja aku merasa tidak berhak. Sampai kemarin lusa, ketika kamu mengiyakan ajakan ku untuk sarapan bersama di warung dekat kosan mu. Kamu bilang bahwa kamu penasaran dengan bentuk bunga Desember yang selalu aku bahas bila bersama dengan mu. Katamu kamu sudah mencoba mencari tahu di internet, tapi tetap saja ada yang kurang bila tidak melihat langsung.

Maka disinilah aku, tujuh hari sejak pertemuan pertama kita di tepi danau Buyan. Aku memegang pot kecil berisikan bunga Desember yang sedang berbunga. Warnanya merah jambu, bunganya seperti bola berbulu dan terdapat warna kuning di ujungnya. Aku menunggu mu pulang, entah dari mana, di beranda kos mu. Diluar hujan deras. Aku menyesali kedatanganku yang tiba-tiba. Seharusnya aku menghubungi mu terlebih dahulu.

Satu jam.. Satu setengah jam.. Dua jam berlalu.

Hujan sudah reda, namun mendung masih menyelimuti langit. Tiba-tiba aku mendengar suara dari arah gerbang. Suara tawamu yang renyah, diikuti oleh suara tawa seorang pria. Cukup jelas terlihat dari atas sini, dari beranda kos mu yang terletak di lantai 2. Cukup jelas terihat bagaimana pria itu menatapmu, memelukmu dan mencium keningmu. Cukup jelas terlihat bagaimana bahasa tubuhmu yang malu-malu dan rona merah diwajahmu. Cukup jelas terlihat topi kupluk merah jambu yang kembali bertengger di kepalamu, mungkin untuk menghangatkanmu dari dinginnya musim hujan seperti ini. Aku hanya bisa panik dan bersembunyi ketika kamu mulai melangkah menuju kamar mu. Melihatmu memutar kunci, membuka pintu lalu masuk dan menghilang.

Seperti seorang pengecut, aku tinggalkan bunga Desember di depan pintu kamarmu. Berharap pemberianku mampu meredakan rasa ingin tahumu. Tapi kamu tahu? Kamu mirip sekali dengan bunga Desember. Semula tidak ada, lalu tiba-tiba muncul dihidupku pada musim penghujan. Mungil, kecil, namun selalu ditunggu. Mempunyai mahkota bola merah jambu, seperti bunga Desember yang sedang mekar. Membuat riang setiap orang yang melihatmu, seperti bentuk bunga Desember yang menyerupai luncuran kembang api pada saat tahun baru. Menjadi penyembuhku disaat aku merindukan Ayah dan Ibu, seperti khasiat bunga Desember yang mampu menjadi penyembuh luka. Sekarang pun, kamu sama seperti bunga Desember. Hanya berkembang segar selama tujuh hari lalu layu dan menghilang.

Dan kamu tahu? Untuk kedua kalinya, aku menyesali keingintahuanku akan bunga Desember. Selamat tinggal kamu, si Gadis bunga Desember.


Januari, 2016

Share:
Read More
,

Hujan Orang Mati

Hujan Orang Mati
Sebuah cerpen karya Violeta Charisma Saragih





”Empat jenazah korban jatuhnya pesawat AirAsia ditemukan. Tim SAR di kapal MGS Survey menemukan empat jenazah korban pesawat AirAsia di Selat Karimata dekat Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Jumat… ”

Seorang gadis, Cira, sedang bersantai menonton TV dikamarnya. Cira mengecilkan volume TV yang sedang menayangkan berita tentang pencarian dan evakuasi korban pesawat Air Asia yang hilang kontak dan jatuh pada akhir Desember lalu. Duka di akhir tahun. Hari yang buruk bagi keluarga korban yang ditinggalkan, pikir Cira seakan mengerti.

Langit cerah pada siang hari itu. Kegiatan kuliahnya telah selesai. UAS dan pengumpulan tugas semuanya sudah beres. Waktunya untuk liburan, tapi entah kenapa hari ini ia tidak berniat kemana-mana. Hanya diam menonton TV di kamarnya. Direbahkan badannya ke kasurnya yang empuk. Siaran TV dipenuhi oleh berita musibah yang menimpa pesawat Indonesia.

Ia membaringkan badannya ke kiri, meraih tablet 10 inch-nya. Terdapat notification di akun BBM. Hanya broadcast message tentang diskon pada online shop temannya. Langsung ditekannya tombol option. End chat. Yes. Tidak penting. Lalu dibukanya recent update. “RIP kak Anita, semoga tenang di sisiNya.” Status salah satu teman SMAnya. Dia kenal orang yang dimaksud, kakak kelas di sekolahnya dulu. Orangnya baik, cantik. Kaget, segera ia membuka facebook. Benar saja, sudah banyak orang yang mengucapkan belasungkawa dan doa di diding akun facebook kak Anita. Meninggal di tempat karena kecelakaan. Ya ampun kak Anita, tragis sekali.

Lalu dibukanya beranda facebooknya. terpampang foto seorang temannya yang sedang menangisi jenazah ibunya. Lagi-lagi tentang kematian. Ya Tuhan. Akhir-akhir ini Cira merasa dekat sekali dengan kematian. Dari semua yang dilihat, didengar dan dialaminya, ia merasa Tuhan bisa mengambil nyawanya kapan saja dan dimana saja. Banyak sekali berita kematian di awal tahun yang baru ini.

Diluar hujan gerimis, namun langit masih cerah dan matahari bersinar terik, hanya terdapat sidikit awan abu-abu menyelimuti permukaannya. Hujan orang mati, pikir Cira. Tiba-tiba ia teringat papanya yang meninggal 2 bulan lalu. Papanya sudah lama terkena penyakit jantung. Ia meninggalkan Cira dan seluruh keluarganya dengan cara mendadak. Cira ingat saat papanya mengeluh pusing dan mual, setelah itu papanya jatuh. Tak berdaya. Satu jam berada di rumah sakit dan papanya dinyatakan sudah pergi. Sedih sekali. Cira serasa kehilangan sebagian jiwanya. Ia sangat dekat dengan papanya. Dan sekarang ia sangat merindukan beliau.

Sudah 2 bulan berlalu sejak kejadian itu. Kejadian yang membuat hidup Cira berubah. Mungkin itulah salah satu alasan kenapa Cira tak ingin kemana-mana. Ia masih berduka. Biasanya dihari libur begini papanyalah orang pertama yang mengajaknya berpetualang. Sudah 2 bulan berlalu. Rasa rindu sudah menumpuk di dadanya. Ingin sekali ia bertemu dengan papanya, walaupun hanya dalam mimpi. Tapi belum pernah sekalipun papa Cira mampir ke mimpinya.

Hujan bertambah deras, tapi matahari  tetap bersinar terik. Dibukanya galeri foto di tabletnya. Terpampang foto-foto selfie terakhirnya dengan papanya. Hanya ini yang bisa meredakan rasa rindu. Tiba-tiba di depan tempat tidurnya, muncul seberkas cahaya. Makin lama makin besar dan menyilaukan. Cira kaget. Lalu dilihatnya bayangan manusia keluar dari cahaya tersebut. Makin lama semakin jelas. Memakai pakaian putih-putih. Tangan, kaki, postur badan dan wajahnya…

“Papaa!” Cira kaget sendiri mendengar suara yang keluar dari mulutnya. “Papa, kaukah itu?” tanyanya penasaran. Jantungnya berdetak kencang.

“Tentu saja anakku, Cira yang manis” Jawab papanya. Tenang dan damai.

Cira bangun dan memeluk papanya dengan erat. Lalu mengajaknya duduk di tepi tempat tidurnya. “Cira kangen sekali dengan papa. Kenapa papa lama sekali datang?”

“Papa juga kangen sekali dengan kamu, mama dan adik. Tuhan baru menginjinkan papa untuk mengunjungi kalian. Kamu lihat hujan di luar sana? Tuhan sedang menurunkan hujan orang mati” jawab papanya.

“Hujan orang mati? Jadi hujan orang mati itu benar-benar ada? Trus apa hubungannya dengan kedatangan papa?”

“Tuhan akan menurunkan hujan orang mati setiap Ia memanggil tujuh ratus ribu orang dari seluruh dunia. Itulah alasan kenapa papa tidak pernah muncul selama ini. Papa sedang menunggu, Cira. Menunggu saat Tuhan memanggil orang ke tujuh ratus ribu” papanya menjelaskan dengan tenang. Ciara diam menunggu penjelasan selanjutnya.

“Saat jumlah orang yang dipanggil Tuhan genap tujuh ratus ribu, Ia akan menurunkan hujan orang mati dan memperbolehkan setiap orang yang Ia panggil untuk turun ke bumi bersama dengan hujan, bertemu dengan orang-orang yang dikasihinya untuk terakhir kali. Karena pada keesokan harinya, Tuhan akan mengadakan hari penghakiman, apakah orang tersebut masuk surga atau neraka.

Papa beruntung dipanggil Tuhan pada akhir tahun, karena kau tahu Cira? Setiap akhir tahun sepertinya Tuhan lebih sering memanggil umatNya. Kau tahu banyaknya berita kematian akhir-akhir ini? Sepertinya Tuhan mau menyadarkan manusia akan dosa-dosanya dipenghujung tahun, sehingga manusia sadar akan waktu hidupnya dan memakainya dengan baik di tahun yang baru. Biasanya orang yang dipanggil Tuhan harus menunggu 3-5 bulan untuk Tuhan menggenapi jumlah hitungannya. Tapi papa dalam waktu 2 bulan saja sudah bisa bertemu dengan kamu. Beruntung bukan? Hahaha” papanya bercerita dengan riang. Cira tidak mengerti kenapa papanya bisa sesederhana itu melihat kematian.

“Lalu kenapa harus hujan orang mati pa? Hujan dengan matahari yang bersinar terik. Bukankah itu aneh sekali?” Tanya Cira masih tidak mengerti.

“Kau memang anak gadis papa yang masih suka ingin tahu, Cira” Papa Cira mengacak rambutnya dengan sayang. “Kau tahu, saat Tuhan memanggil anak-anakNya, Tuhan tahu itu waktu yang terbaik. Tapi seringkali manusia terlalu bersedih, bahkan banyak yang membenci Tuhan karena mengambil orang tersayangnya. Tuhan hanya ingin sampaikan bahwa dibalik kemendungan  awan, warnanya yang gelap, angin yang kencang, rintik-rintik hujan yang jatuh dan kesedihan yang mendalam, ada pengharapan yang datang dari pada Tuhan. Ada penghiburan seperti terik matahari, yang dapat memulihkan setiap hati orang-orang yang ditinggalkan. Dibalik hujan yang begitu buruk, terdapat sesuatu yang indah dan terang. Itulah rencana Tuhan, Cira. Dia punya rencana yang lebih baik, yang dipersiapkannya untuk masa depan orang yang ditinggalkan. Kau tahu? Matahari tidak akan habis, selalu baru setiap waktu. Bahkan setelah hujan badai sekalipun. Sekarang kau mengerti? Dia hanya ingin mengingatkan umatNya bahwa Tuhan akan selalu ada, tak perduli apapun yang terjadi.”

Cira menggangguk paham. “Berarti Cira tidak boleh sedih lagi karena kepergian papa? Berarti Tuhan punya rencana yang lebih indah untuk Cira? Untuk keluarga kita? Lalu bagaimana Cira tahu papa masuk surga atau tidak? Apakah papa akan mengunjungi Cira lagi?”

“Papa senang kau sudah mengerti, Cira. Papa tidak tahu bisa mengunjungi kamu lagi atau tidak. Papa belum pernah mengalami hal ini, bahkan teman-teman papa diatas sana tidak ada satupun yang tahu. Tapi papa yakin papa masuk surga. Bukankah itu janji Tuhan kepada setiap umat yang setia kepadaNya?” Jawab papa Cira sambil memeluk anak gadisnya yang manis itu. “Sekarang Cira tidak boleh bersedih lagi. Hidup harus berjalan terus. Anak papa harus semangat. Papa juga harus pergi, nak. Tidak banyak waktu yang diberikan Tuhan, sesuai dengan umur yang di berikan Tuhan lalu dibagi sepuluh.”

Ciara mengerutkan dahi “Papa hanya diberikan waktu 5,9 jam?”

“Kau benar gadis pintar. Sekarang papa mau melihat mama dan adikmu dulu. Juga masih ada beberapa pekerjan yang harus papa lakukan. Papa tidak ingin ketinggalan untuk hari penghakiman besok. Papa sayang Cira” Dipeluknya sekali lagi anak gadisnya itu dengan erat. Lalu dicium keningnya.

“Cira juga sayang papa.” Balas Cira. Lalu sedikit demi sedikit bayangan papa Cira menghilang. Tiba-tiba Cira tersadar dia belum mengucapkan terimaksih atas kasih sayang yang diberikan papanya selama hidupnya. Cira ingin meminta maaf kalau ia belum bisa membuat papanya bangga. “Paa.. papa.. jangan pergi dulu. PAPAAAA…!” Cira terbangun. Nafasnya terngah-engah. Dilihatnya ke sekeliling kamarnya. Papanya tidak ada. Dilihatnya tab yang masih tergenggam di tangannya. Ada foto selfie Cira dan papanya. Hhh.. Ternyata hanya mimpi…

Hujan orang mati sudah reda di luar sana. Matahari bersinar terik. Sesekali angin berhembus pelan. Setelah kejadian itu, si gadis tidak pernah bermimpi tentang papanya lagi. Cira menjalankan hidupnya dengan penuh semangat, sesuai pesan papanya. Mungkin pertemuan itu hanyalah mimpi, mimpi yang sangat nyata. Tapi Cira tahu itu cara Tuhan untuk mempertemukan Cira dan papanya.

Hujan orang mati sudah reda di luar sana. Cira yakin papanya sudah tenang, berada di surga dan tersenyum melihat anak gadisnya yang berpengharapan.


2015
Share:
Read More
,

Be My Future

Be My Future
Cerpen by Violeta Charisma Saragih


photo by tumblr
Pacaran :
1. Bangun dari tidur
2. Pergi kuliah
3. Kuliah
4. Pulang kuliah
5. Jalan-jalan bareng pacar
6. Pulang diantar pacar

Jomblo :
1. .....

Hahaha, ada-ada saja orang zaman sekarang, Nara geleng-geleng kepala tidak melanjutkan membaca quote diatas yang tertera di display picture BBM teman satu kampusnya. Zaman sekarang makin banyak saja orang kreatif yang membuat meme yang bikin ngakak, mulai dari kata-kata lelucon sampai kata-kata romantis. Seperti DP yang barusan ia lihat, perbandingan antara kebiasaan orang pacaran dan yang jomblo. Bukan hanya urusan percintaan saja yang dijadikan bahan lelucon, bahkan pada masa-masa pilpres banyak meme-meme lucu bermunculan. Dari undangan pernikahan yang muka pengantinnya diganti menjadi muka kedua capres sampai foto-foto candid capres dan cawapres yang di beri tulisan-tulisan lucu. Bahkan perbedaan survey yang terjadi setelah pemilihan dilakukan memunculkan banyak gambar lucu seperti judul sinetron yang muka pemerannya diganti dan tulisannya diganti dengan isu yang ada di masyarakat. Itu semua muncul kurang dari 24 jam dan langsung beredar luas di media sosial.



Share:
Read More
,

Horeeeeee! Papa Dataaaaang!


hore papa dataaang!
Gak tau kenapa, tapi akhir-akhir ini aku ingin sekali menulis tentang pengalaman dan perasaan ku menjadi anak perantauan. Mungkin karena aku tidak yakin kalau aku bisa merantau kali ya, secara dulu itu rasanya paling susah pisah sama orang tua. 'Bagaimana nanti kalau rindu?' pikiran yang pertama kali muncul dan langsung disusul cibiran dari kakak ku yang jauh lebih mandiri hahaha. Tapi so far so good laah, tangisan-rindu-rumah-dan-orang-tua hanya berlaku selama 3 bulan pertama, sesudahnya sibuk sama kuliah, tugas seabrek, kegiatan kampus, sampai terkadang lupa komunikasi dengan orang tua.

     Hal yang paling menyenangkan bagi anak rantau itu mungkin ketika orang tua datang mengunjunginya, langsung terbayang dong kebebasan finansial yang didapat, hahaha -dasar mahasiswa- Dan itulah yang terjadi ketika aku menerima kabar bahwa papa akan datang. HOREEEE! Papa datang ke Bali untuk urusan
Share:
Read More

PERTEMUAN TERAKHIR

Pertemuan Terakhir
Cerpen by Violeta Charisma Saragih


Cuaca mendung sore ini. Tidak ada matahari, yang ada hanyalah angin sejuk sepoi-sepoi. Seorang gadis duduk di beranda kosnya sembari menikmati udara sore yang begitu menenangkan. Saat semua orang membenci mendung karena kelabunya, Nara malah sangat mencintai mendung. Menurutnya hembusan angin yang membawa butiran-butiran kecil air hujan saat mendung mengandung rasa nyaman dan tenang.

Dia duduk tertunduk, melihat ke layar handphonenya. Ada sebuah message tertulis dari kakaknya. 'Nara, sampai kapan kamu mau begini terus? Menutup diri dari orang-orang sekelilingmu? Keluar dan bersosialisasi lah..' langsung saja di deletenya message itu tanpa membalasnya. Huh, semua orang memang tidak bisa mengerti, hanya bisa menuntut saja. Seketika itu juga pikirannya melayang, pada ingatan yang sangat tak ingin di reka kembali. Memori 3 bulan lalu...

***

Nara sudah bertekad pagi itu, dia tidak akan menangis. Dia tidak akan mengeluarkan setitik air mata pun, walaupun ia tahu hari ini adalah hari yang sangat kelam baginya.

"Kopermu sudah beres semua, sayang?" Nara bertanya kepada Rei, kekasihnya.

"Sudah sayang, terimakasih udah bantuin aku packing ya. Kita sarapan dulu yuk, abis itu langsung ke bandara" Rei menjawab lembut yang disambut anggukan ragu-ragu dari Nara.

Hari itu adalah hari kepulangan Rei setelah sebulan mengunjungi Nara di perantauan. Mereka adalah sepasang kekasih yang menjalani hubungan jarak jauh. Selama hampir satu tahun mereka tidak bertemu, tidak bertatap muka, hanya saling mendengar suara dan bertukar kata-kata. Sampai suatu saat Rei memberi kabar bahwa ia akan menemui Nara. Ia akan menyebrangi pulau demi pulau hanya untuk melihat Nara, berbicara dengan Nara secara langsung, menemani Nara. Bukan main senangnya gadis itu, apalagi mengetahui bahwa Rei mengorbankan banyak hal demi keinginannya.

Jantung Nara berdetak kencang saat menjemput sang long-distancernya. Banyak yang bilang saat sepasang kekasih yang sudah lama tidak bertemu lalu bertemu kembali seperti dua orang yang baru saja dipertemukan cinta. Malu-malu.

Masih terekat erat diingatannya saat Nara menjemput Rei di bandara. Dengan balutan jaket abu-abu pemberian Nara, kaos yang pas dengan tubuh machonya, jeans hitam dan rambut bergaya spike sesuai permintaan Nara dulu membuat cowok yang satu ini terlihat keren sekali. Saat mata mereka bertemu langsung saja Rei menyambutnya. Rei memeluknya dengan erat, mencubiti pipinya, mencium keningnya. Manis sekali. Dan sejak saat itu hari-hari sepi Nara dipenuhi dengan Rei. Jalan-jalan bersama Rei, belanja bersama Rei, makan bersama Rei, bercanda bersama Rei, bertengkar bersama Rei, menangis bersama Rei. Rasanya perjuangan Nara memendam rindu selama ini kepada Rei terbayar sudah.

Tapi ternyata hari ini harus datang juga. Dimana setiap pertemuan ada perpisahan sebagaimana setiap kehidupan ada kematian. Mata Nara bengkak dan sembab, terlihat bahwa ia habis menangis. Nara memang menangis semalaman untuk Rei, untuk kekasih hatinya yang akan meninggalkanya, dan Nara takut karena ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Rei, setidaknya sebagai sepasang kekasih. Nara sudah yakin dengan keputusannya.

"Kenapa kamu harus pergi? Kamu tidak tahu kalau aku sendirian? Aku kesepian disini"

"Aku mengerti sayang. Tapi sudah jalan kita untuk terpisah jarak dan waktu. Yang terpenting aku sudah melihatmu disini. Aku sudah mengetahui lingkungan dan keseharianmu. Percayalah kita pasti bisa melewati ini" Rei menenangkan Nara dengan lembut. Perjuangan mereka bukan hanya sebatas perbedaan tempat dan waktu. Masih ada perbedaan lagi yang membuat Nara takut dan akhirnya mengambil keputusan ini. Maafkan aku Rei..

"Nara?? Nara sayang???" Nara terbangun dari lamunannya.

"Yaa? ada apa Rei?" Nara menjawab terbata

"Kamu kenapa? Aku tadi tanya makan apa kita pagi ini untuk sarapan?"

"Oh, maaf sayang. Roti gulung sosis ciptaanmu saja bagaimana?"

"Oke, jangan melamun lagi yaa. Waktu kita tinggal sedikit." jawab Rei sambil mengusap kepalanya seperti anak kecil. Nara sangat suka diperlakukan seperti itu oleh Rei. Diperlakukan seperti anak kecil membuatnya merasa terlindungi. Tubuh Rei yang tinggi dan bidang selalu membuatnya merasa aman.

Sehabis sarapan mereka bergegas ke bandara. Hati Nara merasa sesak selama di perjalanan, seperti ada bom yang meledakkan hatinya beberapa menit sekali dan menghancurkannya berkeping-keping. Hhhh, tidak boleh menangis Nar. Jangan biarkan tangisanmu menjadi beban bagi Rei. Seakan-akan Rei yang meninggalkan dirinya. Padahal pada awalnya Nara lah yang berniat untuk menempuh pendidikan di luar, jauh dari rumahnya, jauh dari orangtuanya, jauh dari kekasihnya.

Jam menunjukkan pukul 9 tepat, 20 menit lagi pesawat Rei akan berangkat. Nara dan Rei duduk dibangku ruang keberangkatan. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali Rei mengajak Nara bercanda, namun hanya ditanggapi dengan senyuman oleh Nara. Nara berusaha menahan diri sekuat tenaga, menahan emosi yang sudah bergejolak, menahan rasa sedih yang tak terbendung lagi, menahan air mata yang sudah mendesak keluar dari pelupuk matanya. Nara tidak mengerti bagaimana bisa Rei menyembunyikan kepedihan hatinya, dia tegar sekali.

"Aku sedih, sedih sekali. tapi bagaimana bila aku ikut menangis bersamamu? Siapa yang akan menguatkan mu? siapa yang akan menghapus air matamu? siapa yang akan kuat memelukmu?" kata-kata Rei terngiang kembali dikepalanya.

Kepada penumpang pesawat Lion Air dengan No. penerbangan JT 222 tujuan Jogja dipersilahkan untuk memasuki pesawat udara

Dheg! Panggilan itu datang. Panggilan yang merebut Rei dari sisi Nara dan membawanya pulang. Nara terdiam, menatap Rei. Mata indahnya, rambut hitamnya, lembut bibirnya. Secepat kilat Rei langsung memeluk Nara, mendekap gadis itu dalam dadanya. Seketika itu juga kaos Rei basah dengan air mata Nara. Nara menangis tersedu-sedu. Tiba-tiba sebuah ciuman mendarat di bibir Nara. Tidak lama, hanya sekilas, namun sangat membekas. Dua sejoli ini seakan tidak perduli dengan keadaan sekitar yang hiruk pikuk. Nara selalu menginginkan bibir lembut Rei, tapi tidak yang seperti ini. Ciuman singkat yang berisi kepahitan. Sebuh ciuman -perpisahan.


***
It's the best day ever... the best day ever...
Suara spongebob yang sedang asik bernyanyi menjerit dari handphone Nara. MAMA, tertera di layarnya. 

"Halo, ada apa ma?" Tidak biasanya mama meneleponnya seperti ini.

"Lagi dimana kamu Nara? Apa yang kamu lakukan dengan Rei disana?" suara mama terdengar marah.

"Rei sudah pulang ma, Nara sedang sendiri disini"

"Bagaimana bisa anak itu datang mengunjungi mu? Kenapa kamu masih berhubungan dengan dia?"

Hhhff, aku sudah menduga percakapan ini akan terjadi.
"Nara sayang Rei maa.." suara Nara bergetar. Hanya kata-kata itu yang mampu diucapkan Nara. Dia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan mamanya yang dari dulu tidak merestui hubungannya dengan Rei.

"Nara sayang, masih banyak orang diluar sana, Kenapa harus dengan Rei? Carilah orang yang seiman dengan kita. orang yang juga mencintai Tuhanmu. Perjalananmu masih panjang Nar."

Ya, Nara dan Rei bukan hanya sepasang kekasih yang berada dalam perbedaan jarak dan waktu, tetapi juga keyakinan. Sudah banyak tekanan yang didapat Nara selama ini baik dari keluarga, teman-temannya, juga dari dalam dirinya sendiri. Nara capek menyembunyikan hubungan mereka dari orang-orang sekelilingnya, Nara capek merasa iri bila melihat sepasang anak muda berdoa bersama sebelum makan atau pergi beribadah bersama. Nara capek ketika ia tahu bahwa ia sudah diperingati namun ia hanya bisa meyakinkan dirinya kalau semua baik-baik saja. Nara capek ketika ingin berbagi cerita dengan orang lain untuk mendapat dukungan tetapi yang didapat hanya cemooh. 

"Iya ma, mama tenang saja. Setelah kepulangan Rei kemarin Nara sudah memutuskan hubungan dengannya. Nara hanya ingin melihatnya sebelum benar-benar berpisah dengannya. Sudah ya ma, Nara capek." Tiit..titt...tiitt..

Tidak baik bersikap seperti itu kepada orang tuanya, tapi Nara yakin mamanya tahu apa yang dia rasakan. Tidak ada lagi yang bisa dipertahankannya dengan Rei. Oleh karena itu Nara sudah merencanakan dari awal untuk memutuskan hubungan mereka setelah kepulangan Rei. Rei awalnya tidak terima, tapi dengan penjelasan Nara akhirnya Rei mengerti.

Nara benar-benar menikmati kebersamaannya dengan Rei, kebersamaannya yang terakhir -sebagai sepasang kekasih. Sepasang kekasih yang harus dipisahkan oleh keyakinan mereka sendiri. Suatu keputusan yang sulit mengingat betapa mencintanya mereka. Sekarang Nara kembali sepi. Dia memilih untuk menutup diri dari orang-orang sekelilingnya, menutup hatinya. Nara takut terjatuh lagi pada orang yang salah dan merasakan sakit dan luka yang sama di masa yang akan datang.
Share:
Read More