let's go get lost

,

Kamu, Si Gadis Bunga Desember



source : google.com
Sore itu angin berhembus kencang, menghantarkan hawa dingin ke sekujur tubuhku. Dengan refleks, ku rapatkan jaket yang sudah menemaniku dari semalam. 30 November 2014. Minggu sore yang sejuk. Jam tangan ku menunjukkan pukul 4. Aku dan dua orang teman ku baru saja selesai membereskan tenda dan perlengkapan lain yang kami gunakan untuk bermalam. Aku melihat sekelilingku, memastikan tidak ada barang yang tertinggal, terutama sampah. Sudah begitu luar biasa keindahan yang diberikan semesta. Mengotorinya bukanlah salah satu bentuk ucapan terimakasih kepada padang rumput di tepi danau Buyan yang kami gunakan sebagai tempat kemah selama dua hari satu malam ini.

Untuk merefresh pikiran setelah satu semester dicekoki dengan mata kuliah dan tugas, aku dan teman-temanku memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan dengan kemah di area perkemahan Danau Buyan. Lokasinya yang terletak di daerah Bedugul -daerah dataran tinggi- membuat area ini memiliki iklim yang sejuk. Jaraknya juga tidak terlalu jauh dari Denpasar, hanya 2 jam dengan mengendarai mobil. Area ini menawarkan pengalaman kemah dengan view danau Buyan. Tidak heran banyak anak muda yang menghabiskan weekendnya sama sepertiku, mungkin juga seperti kamu. Bangun tenda, ngobrol, main gitar, tertawa, ngemil, minum, memandangi bintang ditemani dengan sebuah lampu baterai kecil.

Aku melihat sekelilingku sekali lagi. Kali ini benar-benar melihat ke sekeliling sambil berjalan kearah mobil yang akan membawa ku pulang ke Denpasar. Aku memegang sebuah buku, hanya kebiasaan. Kalau-kalau keadaan memaksaku untuk menunggu. Aku memperhatikan beberapa kelompok anak muda yang juga sedang membongkar tendanya. Ada 4 tenda yang berdiri di area ini sepanjang malam, dan aku belum menyadari kalau salah satu dari tenda itu adalah tenda mu. Akhir pekan telah usai. Aku selalu bertanya-tanya kenapa hari Minggu dan hari Senin itu jaraknya dekat sekali, tetapi hari Senin dan hari Minggu jaraknya jauh berhari-hari. Mungkin itulah alasan orang untuk membenci dan mengutuki hari Senin. Tapi tidak untukku. Aku yakin aku tidak akan membenci hari Senin, karena besok sudah memasuki masa minggu tenang. Libur. Seminggu. Seharusnya kupakai untuk belajar mempersiapkan UAS, tapi sepertinya belanja buku dan tenggelam didalamnya lebih seru. Aan Mansyur, Robert Galbraight, Haruki Murakami atau Dan Bro...

"ADUUHH!" sebuah tabrakan keras menyadarkan ku dari lamunan tentang buku apa yang akan aku beli nantinya, diikuti suara seorang gadis yang jatuh dihadapan ku. Suaramu. Seorang gadis manis. Kamu memakai jeans dan jaket tebal yang membungkus tubuh mungilmu. Rambutmu digerai dengan poni rata menutupi dahi. Diatas kepalamu terdapat sebuah topi kupluk merah jambu menyerupai bola berbulu tebal, bukan berbahan rajut seperti topi kupluk kebanyakan, melainkan berbahan ratusan atau ribuan benang pendek berwarna merah jambu cerah yang mencuat seperti...

"Bunga Desember.." kata ku pelan saat melihatmu pertama kali.

"Duuuhh, bukannya dibantu malah ngeliatin. Apa lo bilang tadi?" Kamu mengaduh lagi sambil membersihkan tanah dan rumput yang menempel di jaketmu. Dari aksenmu aku mengira mungkin kamu berasal dari Jakarta.

"Eeehh.. Maaf, maaf.." Jawabku, tak sadar kamu sudah bangun sendiri. Mungil sekali. Tinggi mu hanya setinggi lenganku. Pantas saja saat bertabrakan kamu sampai jatuh tapi aku tidak kenapa-kenapa. Pada saat itu aku berfikir mungkin wajah mu hanya sebesar telapak tanganku.

"Nih, buku lo" kamu berkata singkat, memberikan bukuku yang kamu pungut, lalu pergi begitu saja. Saat itu aku menyesal tak langsung menanyakan namamu atau asalmu. Gadis Bunga Desember, aku menyebut mu begitu.

"Woii, liat apa? Melamun khe ya? Awas kesambet leak khe." Wayan menyadarkan ku dengan logat khasnya. Temanku yang satu ini memang asli orang Bali.

"Cepat kau Gir, aku mau ketemu lagi sama cewekku nih! Udah nunggu dia di Denpasar." Danu nimbrung. Kalau yang ini asli orang Medan. Merantau ke Bali hanya untuk kuliah.

"Iya..iyaa.." Jawabku cepat sambil berjalan ke mobil. "Udah semua nih? Gak ada yang ketinggalan kan?"

"Udah. Tancap lae!" Jawab Danu.

Aku menghidupkan mobil dan kembali melihat sekeliling. Melihat kamu yang masih sibuk membereskan tenda, tertawa dengan teman-teman mu. Kemudian menginjak gas dan berjalan menjauh. Masih terus memikirkan mu, ingatanku kembali ke masa lampau, bertahun-tahun lalu. Masih jelas di ingatanku, seperti scene salah satu film yang diulang kembali.

Waktu itu ada Ibu, aku dan bunga. Ibu adalah orang yang paling suka bunga yang pernah aku temui. Papa sampai membuatkannya taman kecil untuk tanaman hias koleksinya. Paling banyak tanaman anggrek. Ada yang digantung, ada yang ditaruh dalam pot. Namun yang paling menarik perhatianku adalah salah satu pot yang tidak ada tanamannya.

"Bu, kenapa pot yang itu tidak ada tanamannya?" aku penasaran.

"Ada anakku, tapi sekarang dia belum muncul. Namanya Bunga Desember. Dia akan berbunga saat musim hujan tiba. Karena curah hujan umumnya makin tinggi saat bulan Desember, bunganya pun mulai tumbuh saat bulan Desember. Di dalam tanah yang ada di pot itu, ada umbi yang akan tumbuh dan berbunga." Saat itu, Ibu menjelaskan sambil menyirami beberapa tanamannya.

Penjelasan Ibu membuatku makin penasaran. Sudah beberapa Desember terlewati dalam hidupku, tapi aku tak pernah menaruh perhatian sedikitpun kepada bunga Desember. Tidak pernah melihat bentuk dan warnanya seperti apa. Sejak saat itu aku menanti tumbuhnya bunga Desember. Dua bulan lagi, pikirku.

Memasuki akhir November, aku semakin sering mengunjungi taman kecil Ibu. Melihat bagaimana umbi bunga Desember muncul sedikit demi sedikit. Lalu ketika bulan Desember dan musim penghujan tiba, sedikit demi sedikit tunasnya mulai muncul. Diikuti kelopak bunga yang mulai tumbuh dan akhirnya mekar. Bunga Desember cantik sekali. Bunganya berbentuk payung dan berkoloni membentuk bola. Ada warna kuning di ujungnya. Seperti luncuran kembang api saat tahun baru.

Namun selagi aku sibuk mengamati dan mengagumi bunga Desember ditengah derasnya hujan di luar sana, sesuatu yang tidak pernah aku inginkan terjadi. Aku mendengar pecahan piring bersamaan dengan bentakan Ayah, lalu disusul tangisan Ibu. Makin hari makin menjadi. Bahkan sesudah bunga Desember layu dan menghilang pun -ternyata bunga ini hanya mekar selama beberapa hari-, mereka tetap bertengkar. Aku tidak mengerti, yang ku tahu keesokan harinya Ayah pergi dan tidak pulang lagi kerumah. Lalu aku diantar ke rumah Nenek oleh Ibu. Ibu menangis didepanku, mengusap kepalaku dengan sayang, kemudian pergi. Sampai sekarang tidak kembali.

Kamu tahu? Sejak saat itu aku menyesali keingintahuanku akan bunga Desember, sampai tadi aku bertemu dengan kamu, si gadis bunga Desember, untuk pertama kalinya.

*****

"Hei! Lo yang kemaren nabrak gue di Buyan kan?" seseorang mengejutkanku. Saat itu aku sedang menghabiskan waktu sore ku di cafe kecil yang ada di daerah Renon, membaca buku kumpulan puisinya Aan Mansyur yang belum selesai ku baca sejak sebulan yang lalu. 1 Desember 2014. Di luar sedang hujan deras. Sudah mulai memasuki musim penghujan. Aku mendongakkan kepalaku dan melihat kamu, si gadis bunga Desember.

"Ehh.. kamu bung.. ehh.. iya, kamu yang semalam aku tabrak. Hai." Jawabku kaget. Saat itu aku sangat berterimakasih kepada semesta karena kembali mempertemukan aku dengan mu.

"Boleh sharing gak mejanya? Cuma di tempat duduk ini aja yang ada colokannya. Buat laptop." Katamu sambil menunjukkan ransel dibelakangmu.

"Iya boleh, duduk aja" Jawabku, masih tak percaya kamu muncul dihadapanku. Topi kupluk merah jambu itu tidak lagi bertengger diatas kepalamu. Rambutmu diikat keatas tidak terlalu tinggi, jelas memperlihatkan bentuk mukamu. Rahangmu. Pipimu. Matamu. Kali ini kacamata dengan frame hitam menghiasi wajahmu. Manis.

"Makasih ya.. Aku Tara, kamu?" Lo-gue berganti menjadi aku-kamu, mungkin kamu ingin menghargaiku yang tidak biasa ber-lo-gue sama sekali. Segera aku sambut uluran tangan mu dengan senang hati.

"Giri." Aku tidak bisa melepaskan pandanganku darimu. Kamu duduk, memasang kabel pengisi baterai dan mulai membuka laptopmu. Tergesa-gesa. "Diburu deadline ya?"

"Ehh.. Iya nih.. Harus nyetor kerjaan gambar sebelum jam 6 sore. Via email sih" jawabmu.

"Kerja apa?"

"Nggak kerja sih, freelance aja. Masih kuliah soalnya di Unud." Sesekali kamu membetulkan kacamatamu yang merosot dengan jari telunjuk.

"Oh ya? Aku juga kuliah di Unud. Teknik Mesin. Kamu?"

"Aku ambil Teknik Arsitektur. Kok ga pernah lihat kamu ya?"

"Iya.. Aku juga belum pernah tahu kamu sebelumnya. Padahal gedung kita sebelah-sebelahan." Aku langsung mengutuki diriku yang selalu langsung meninggalkan kampus seusai kuliah. "Kamu.. mirip bunga desember ya?" Lanjutku. Percayalah, ketika kamu tertarik dengan seseorang, kamu tidak akan mengira kata-kata apa yang bisa keluar dari mulutmu.

"Bunga Desember?" Kamu memiringkan kepalamu sedikit ke kiri ketika ingin tahu.

"Iya, bunga yang muncul saat musim penghujan tiba. Biasanya berbunga di bulan Desember. Bunganya cantik. Kamu juga cantik." Gombalan terkonyol yang pernah aku lakukan. Sial.

"Hahaha.." Kamu tertawa mendengar penjelasanku. Suara tawamu renyah. "Kamu aneh. Anak Teknik Mesin, badan tinggi tegap, rambut gondrong, tapi penyuka bunga dan bacaannya Aan Masyur." Kamu melirik kecil kearah buku yang ada ditanganku. "Di kafe, sendirian pula. Seharusnya kamu itu dengerin music hardcore, pake baju hitam-hitam, nongkrong sama teman-teman mu dan gombalin cewek-cewek kekinian."

"Wow.. woow.. Begitukah kalian para wanita menilai seorang anak Teknik Mesin?" Aku membela diri yang dibalas dengan suara tawamu sambil mengangkat bahu. Sore itu hujan masih jatuh dengan derasnya, langit kelabu dan jalanan sepi. Tapi satu yang aku sadari, aku telah jatuh hati kepada seorang gadis dihadapanku. Kepada kamu, si gadis bunga Desember.

****

Begitulah pertemuan kedua kita yang sampai sekarang masih ku ingat. Sudah enam hari berlalu. Aku masih bisa merasakan renyah tawa mu, cara mu membetulkan letak kacamatamu atau kepalamu yang kamu miringkan sedikit ke kiri ketika rasa ingin tahumu datang. Aku senang ketika kita bersepakat untuk saling bertukar kontak dan semakin dekat dari hari ke hari. Aku bersyukur kepada semesta yang seakan-akan mengerti perasaan ku kepadamu. Aku tahu, akan terlalu cepat untuk mu jika aku terus terang tentang perasaan ku. Bahkan untuk bertanya bahwa kamu sudah punya kekasih saja aku merasa tidak berhak. Sampai kemarin lusa, ketika kamu mengiyakan ajakan ku untuk sarapan bersama di warung dekat kosan mu. Kamu bilang bahwa kamu penasaran dengan bentuk bunga Desember yang selalu aku bahas bila bersama dengan mu. Katamu kamu sudah mencoba mencari tahu di internet, tapi tetap saja ada yang kurang bila tidak melihat langsung.

Maka disinilah aku, tujuh hari sejak pertemuan pertama kita di tepi danau Buyan. Aku memegang pot kecil berisikan bunga Desember yang sedang berbunga. Warnanya merah jambu, bunganya seperti bola berbulu dan terdapat warna kuning di ujungnya. Aku menunggu mu pulang, entah dari mana, di beranda kos mu. Diluar hujan deras. Aku menyesali kedatanganku yang tiba-tiba. Seharusnya aku menghubungi mu terlebih dahulu.

Satu jam.. Satu setengah jam.. Dua jam berlalu.

Hujan sudah reda, namun mendung masih menyelimuti langit. Tiba-tiba aku mendengar suara dari arah gerbang. Suara tawamu yang renyah, diikuti oleh suara tawa seorang pria. Cukup jelas terlihat dari atas sini, dari beranda kos mu yang terletak di lantai 2. Cukup jelas terihat bagaimana pria itu menatapmu, memelukmu dan mencium keningmu. Cukup jelas terlihat bagaimana bahasa tubuhmu yang malu-malu dan rona merah diwajahmu. Cukup jelas terlihat topi kupluk merah jambu yang kembali bertengger di kepalamu, mungkin untuk menghangatkanmu dari dinginnya musim hujan seperti ini. Aku hanya bisa panik dan bersembunyi ketika kamu mulai melangkah menuju kamar mu. Melihatmu memutar kunci, membuka pintu lalu masuk dan menghilang.

Seperti seorang pengecut, aku tinggalkan bunga Desember di depan pintu kamarmu. Berharap pemberianku mampu meredakan rasa ingin tahumu. Tapi kamu tahu? Kamu mirip sekali dengan bunga Desember. Semula tidak ada, lalu tiba-tiba muncul dihidupku pada musim penghujan. Mungil, kecil, namun selalu ditunggu. Mempunyai mahkota bola merah jambu, seperti bunga Desember yang sedang mekar. Membuat riang setiap orang yang melihatmu, seperti bentuk bunga Desember yang menyerupai luncuran kembang api pada saat tahun baru. Menjadi penyembuhku disaat aku merindukan Ayah dan Ibu, seperti khasiat bunga Desember yang mampu menjadi penyembuh luka. Sekarang pun, kamu sama seperti bunga Desember. Hanya berkembang segar selama tujuh hari lalu layu dan menghilang.

Dan kamu tahu? Untuk kedua kalinya, aku menyesali keingintahuanku akan bunga Desember. Selamat tinggal kamu, si Gadis bunga Desember.


Januari, 2016

Share:

No comments:

Post a Comment