Pertemuan Terakhir
Cerpen by Violeta Charisma Saragih
Cuaca mendung sore ini. Tidak ada matahari, yang ada hanyalah angin sejuk sepoi-sepoi. Seorang gadis duduk di beranda kosnya sembari menikmati udara sore yang begitu menenangkan. Saat semua orang membenci mendung karena kelabunya, Nara malah sangat mencintai mendung. Menurutnya hembusan angin yang membawa butiran-butiran kecil air hujan saat mendung mengandung rasa nyaman dan tenang.
Dia duduk tertunduk, melihat ke layar handphonenya. Ada sebuah message tertulis dari kakaknya. 'Nara, sampai kapan kamu mau begini terus? Menutup diri dari orang-orang sekelilingmu? Keluar dan bersosialisasi lah..' langsung saja di deletenya message itu tanpa membalasnya. Huh, semua orang memang tidak bisa mengerti, hanya bisa menuntut saja. Seketika itu juga pikirannya melayang, pada ingatan yang sangat tak ingin di reka kembali. Memori 3 bulan lalu...
***
Nara sudah bertekad pagi itu, dia tidak akan menangis. Dia tidak akan mengeluarkan setitik air mata pun, walaupun ia tahu hari ini adalah hari yang sangat kelam baginya.
"Kopermu sudah beres semua, sayang?" Nara bertanya kepada Rei, kekasihnya.
"Sudah sayang, terimakasih udah bantuin aku packing ya. Kita sarapan dulu yuk, abis itu langsung ke bandara" Rei menjawab lembut yang disambut anggukan ragu-ragu dari Nara.
Hari itu adalah hari kepulangan Rei setelah sebulan mengunjungi Nara di perantauan. Mereka adalah sepasang kekasih yang menjalani hubungan jarak jauh. Selama hampir satu tahun mereka tidak bertemu, tidak bertatap muka, hanya saling mendengar suara dan bertukar kata-kata. Sampai suatu saat Rei memberi kabar bahwa ia akan menemui Nara. Ia akan menyebrangi pulau demi pulau hanya untuk melihat Nara, berbicara dengan Nara secara langsung, menemani Nara. Bukan main senangnya gadis itu, apalagi mengetahui bahwa Rei mengorbankan banyak hal demi keinginannya.
Jantung Nara berdetak kencang saat menjemput sang long-distancernya. Banyak yang bilang saat sepasang kekasih yang sudah lama tidak bertemu lalu bertemu kembali seperti dua orang yang baru saja dipertemukan cinta. Malu-malu.
Masih terekat erat diingatannya saat Nara menjemput Rei di bandara. Dengan balutan jaket abu-abu pemberian Nara, kaos yang pas dengan tubuh machonya, jeans hitam dan rambut bergaya spike sesuai permintaan Nara dulu membuat cowok yang satu ini terlihat keren sekali. Saat mata mereka bertemu langsung saja Rei menyambutnya. Rei memeluknya dengan erat, mencubiti pipinya, mencium keningnya. Manis sekali. Dan sejak saat itu hari-hari sepi Nara dipenuhi dengan Rei. Jalan-jalan bersama Rei, belanja bersama Rei, makan bersama Rei, bercanda bersama Rei, bertengkar bersama Rei, menangis bersama Rei. Rasanya perjuangan Nara memendam rindu selama ini kepada Rei terbayar sudah.
Tapi ternyata hari ini harus datang juga. Dimana setiap pertemuan ada perpisahan sebagaimana setiap kehidupan ada kematian. Mata Nara bengkak dan sembab, terlihat bahwa ia habis menangis. Nara memang menangis semalaman untuk Rei, untuk kekasih hatinya yang akan meninggalkanya, dan Nara takut karena ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Rei, setidaknya sebagai sepasang kekasih. Nara sudah yakin dengan keputusannya.
"Kenapa kamu harus pergi? Kamu tidak tahu kalau aku sendirian? Aku kesepian disini"
"Aku mengerti sayang. Tapi sudah jalan kita untuk terpisah jarak dan waktu. Yang terpenting aku sudah melihatmu disini. Aku sudah mengetahui lingkungan dan keseharianmu. Percayalah kita pasti bisa melewati ini" Rei menenangkan Nara dengan lembut. Perjuangan mereka bukan hanya sebatas perbedaan tempat dan waktu. Masih ada perbedaan lagi yang membuat Nara takut dan akhirnya mengambil keputusan ini. Maafkan aku Rei..
"Nara?? Nara sayang???" Nara terbangun dari lamunannya.
"Yaa? ada apa Rei?" Nara menjawab terbata
"Kamu kenapa? Aku tadi tanya makan apa kita pagi ini untuk sarapan?"
"Oh, maaf sayang. Roti gulung sosis ciptaanmu saja bagaimana?"
"Oke, jangan melamun lagi yaa. Waktu kita tinggal sedikit." jawab Rei sambil mengusap kepalanya seperti anak kecil. Nara sangat suka diperlakukan seperti itu oleh Rei. Diperlakukan seperti anak kecil membuatnya merasa terlindungi. Tubuh Rei yang tinggi dan bidang selalu membuatnya merasa aman.
Sehabis sarapan mereka bergegas ke bandara. Hati Nara merasa sesak selama di perjalanan, seperti ada bom yang meledakkan hatinya beberapa menit sekali dan menghancurkannya berkeping-keping. Hhhh, tidak boleh menangis Nar. Jangan biarkan tangisanmu menjadi beban bagi Rei. Seakan-akan Rei yang meninggalkan dirinya. Padahal pada awalnya Nara lah yang berniat untuk menempuh pendidikan di luar, jauh dari rumahnya, jauh dari orangtuanya, jauh dari kekasihnya.
Jam menunjukkan pukul 9 tepat, 20 menit lagi pesawat Rei akan berangkat. Nara dan Rei duduk dibangku ruang keberangkatan. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali Rei mengajak Nara bercanda, namun hanya ditanggapi dengan senyuman oleh Nara. Nara berusaha menahan diri sekuat tenaga, menahan emosi yang sudah bergejolak, menahan rasa sedih yang tak terbendung lagi, menahan air mata yang sudah mendesak keluar dari pelupuk matanya. Nara tidak mengerti bagaimana bisa Rei menyembunyikan kepedihan hatinya, dia tegar sekali.
"Aku sedih, sedih sekali. tapi bagaimana bila aku ikut menangis bersamamu? Siapa yang akan menguatkan mu? siapa yang akan menghapus air matamu? siapa yang akan kuat memelukmu?" kata-kata Rei terngiang kembali dikepalanya.
Kepada penumpang pesawat Lion Air dengan No. penerbangan JT 222 tujuan Jogja dipersilahkan untuk memasuki pesawat udara
Dheg! Panggilan itu datang. Panggilan yang merebut Rei dari sisi Nara dan membawanya pulang. Nara terdiam, menatap Rei. Mata indahnya, rambut hitamnya, lembut bibirnya. Secepat kilat Rei langsung memeluk Nara, mendekap gadis itu dalam dadanya. Seketika itu juga kaos Rei basah dengan air mata Nara. Nara menangis tersedu-sedu. Tiba-tiba sebuah ciuman mendarat di bibir Nara. Tidak lama, hanya sekilas, namun sangat membekas. Dua sejoli ini seakan tidak perduli dengan keadaan sekitar yang hiruk pikuk. Nara selalu menginginkan bibir lembut Rei, tapi tidak yang seperti ini. Ciuman singkat yang berisi kepahitan. Sebuh ciuman -perpisahan.
***
It's the best day ever... the best day ever...
Suara spongebob yang sedang asik bernyanyi menjerit dari handphone Nara. MAMA, tertera di layarnya.
"Halo, ada apa ma?" Tidak biasanya mama meneleponnya seperti ini.
"Lagi dimana kamu Nara? Apa yang kamu lakukan dengan Rei disana?" suara mama terdengar marah.
"Rei sudah pulang ma, Nara sedang sendiri disini"
"Bagaimana bisa anak itu datang mengunjungi mu? Kenapa kamu masih berhubungan dengan dia?"
Hhhff, aku sudah menduga percakapan ini akan terjadi.
"Nara sayang Rei maa.." suara Nara bergetar. Hanya kata-kata itu yang mampu diucapkan Nara. Dia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan mamanya yang dari dulu tidak merestui hubungannya dengan Rei.
"Nara sayang, masih banyak orang diluar sana, Kenapa harus dengan Rei? Carilah orang yang seiman dengan kita. orang yang juga mencintai Tuhanmu. Perjalananmu masih panjang Nar."
Ya, Nara dan Rei bukan hanya sepasang kekasih yang berada dalam perbedaan jarak dan waktu, tetapi juga keyakinan. Sudah banyak tekanan yang didapat Nara selama ini baik dari keluarga, teman-temannya, juga dari dalam dirinya sendiri. Nara capek menyembunyikan hubungan mereka dari orang-orang sekelilingnya, Nara capek merasa iri bila melihat sepasang anak muda berdoa bersama sebelum makan atau pergi beribadah bersama. Nara capek ketika ia tahu bahwa ia sudah diperingati namun ia hanya bisa meyakinkan dirinya kalau semua baik-baik saja. Nara capek ketika ingin berbagi cerita dengan orang lain untuk mendapat dukungan tetapi yang didapat hanya cemooh.
"Iya ma, mama tenang saja. Setelah kepulangan Rei kemarin Nara sudah memutuskan hubungan dengannya. Nara hanya ingin melihatnya sebelum benar-benar berpisah dengannya. Sudah ya ma, Nara capek." Tiit..titt...tiitt..
Tidak baik bersikap seperti itu kepada orang tuanya, tapi Nara yakin mamanya tahu apa yang dia rasakan. Tidak ada lagi yang bisa dipertahankannya dengan Rei. Oleh karena itu Nara sudah merencanakan dari awal untuk memutuskan hubungan mereka setelah kepulangan Rei. Rei awalnya tidak terima, tapi dengan penjelasan Nara akhirnya Rei mengerti.
Nara benar-benar menikmati kebersamaannya dengan Rei, kebersamaannya yang terakhir -sebagai sepasang kekasih. Sepasang kekasih yang harus dipisahkan oleh keyakinan mereka sendiri. Suatu keputusan yang sulit mengingat betapa mencintanya mereka. Sekarang Nara kembali sepi. Dia memilih untuk menutup diri dari orang-orang sekelilingnya, menutup hatinya. Nara takut terjatuh lagi pada orang yang salah dan merasakan sakit dan luka yang sama di masa yang akan datang.
No comments:
Post a Comment