let's go get lost

[Book Review] Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin - Tere-Liye, 2010


“Ketahuilah Tania dan Dede…. Daun yang jatuh tak pernah membenci angin… Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya. Tania, kau lebih dari dewasa untuk memahami kalimat itu…. Tidak sekarang, esok lusa kau akan tahu artinya…. Dan saat kau tahu apa artinya, semua ini akan terlihat berbeda. Kita harus pulang, Tania” -Danar

Sejak fenomena copy-paste quote dari akun facebook Tere Liye yang dijadikan status atau caption media sosial, saya jadi penasaran akan buku-bukunya. Terlebih lagi saat seorang blogger yang blognya sering saya baca akhir-akhir ini, menyinggung tentangnya di salah satu tulisannya. Biasanya hal-hal yang sangat menarik perhatianlah yang dibahas dan kemudian dijadikan bahan renungan melalui beliau di blognya.

Ibu, Tania, dan Dede. Mereka hidup bertiga melawan kerasnya kehidupan setelah ditinggal ayah. Ibu bekerja apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tania dan Dede tidak lagi pergi ke sekolah tiap pagi, melainkan pergi ke terminal dan bus tempat mereka mengamen dengan baju lusuh tanpa alas kaki. Tiga tahun. Tiga tahun lamanya anak berumur sebelas dan delapan tahun itu harus hidup di rumah kardus di bantaran sungai, hanya bersama ibu yang sabar dan tidak pernah mengeluh.

Hidup berjalan penuh dengan kesulitan sampai mereka bertemu dengan seseorang/dia. Seseorang/dia yang menjadi malaikat bagi keluarga mereka. Seseorang/dia yang mengangkat mertabat dan kualitas hidup mereka menjadi manusia seutuhnya. Seseorang/dia yang memberikan kesempatan yang bertubi-tubi agar keluarga ini bisa menatap masa depan yang cerah. Seseorang/dia yang bernama Danar Danar, yang keanehan namanya memancing pertanyaan Dede, “nama Oom kok aneh dobel-dobel gitu?”

Semenjak seorang malaikat datang ke rumah kardus mereka, cahaya kehidupan tampak semakin terang. Keadaan lambat laun membaik. Tania dan Dede tumbuh seperti anak-anak lainnya. Sampai pada akhirnya, Tania diperkenalkan pada suatu perasaan yang dia pun tak mengerti. Malaikat yang seharusnya menjadi kakaknya karna sudah dianggap anak oleh Ibu terasa berbeda dimatanya. Senang, rindu, berharap, kecewa, cemburu. Semua perasaan itu silih berganti dirasakan Tania karena Danar. Bolehkan ia mencintai malaikatnya, bahkan dengan usia yang terpaut belasan tahun diantara mereka?

Aku bukan daun! Dan aku tak pernah menjadi daun! Aku tak pernah menginginkan perasaan ini, kan? Dia datang begitu saja. Menelusuk hatiku. Tumbuh pelan-pelan seperti kecambah disiram hujan. Aku sungguh tidak menginginkan semua perasaan ini. -Tania

Seperti judulnya, buku ini bercerita tentang hal mengikhlaskan. Mengikhlaskan kepergian seorang ibu, mengikhlaskan pengharapan yang tak kunjung datang, mengikhlaskan cinta bertepuk sebelah tangan, mengikhlaskan keputusan yang salah dalam hidup dan mengikhlaskan kenyataan bahwa hidup harus terus berjalan.

Ceritanya mengalir seperti kehidupan. Terus berputar seperti roda. Saat Tania merasa bahwa harapannya melambung tinggi dan disambut baik oleh Danar, namun setelahnya harapan itu jatuh dibanting keras ke tanah.  Ketika Tania memutuskan untuk menyudahi semuanya perasaannya, namun yang timbul malah teki-teki yang lama-kelamaan mulai kelihatan titik temunya. Teki-teki akan sikap ‘ganjil’ Danar yang menjadi alasan harapan Tania selama bertahun tahun.  Dan lagi-lagi keikhlasan lah yang menjadi pemeran utama dalam cerita ini.

“Bahwa hidup harus menerima…. Penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti… pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami… pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan” - Dede

Hal lain yang saya sukai dari buku ini selain ‘hal mengikhlaskan’ adalah alurnya. Tere Liye bercerita maju mundur. Penulis membawa kita ke dalam renungan dan kenangan Tania akan setiap detik kehidupan masa lalunya selama 1 jam 17 menit sambil melihat sibuknya pemandangan malam kota yang basah akibat hujan melalui kaca besar di lantai 2 toko buku terbesar di kotanya.

Dan dari setiap menit-menit itulah Tere Liye menceritakan kehidupan Tania, Dede, Ibu, Danar dan Kak Ratna sampai ketika Tania menemukan potongan-potongan teka-teki yang mulai kelihatan sambungannya. Klimaks cerita pun diceritakan dengan alur yang sama, namun dengan intensitas yang lebih tinggi. Alur maju mundur bergantian dengan cepat berisi berbagai pengakuan seakan melarang pembaca untuk tidak memalingkan muka dari buku di hadapannya. Membaca bagian kelimaksnya sama seperti menonton Captain America bertarung dengan Iron Man sambil mengatakan kebenaran yang selama ini mereka pendam di film Civil War.

Selain itu, saya juga mengagumi cara Tere Liye untuk menyusun cerita dan merangkai kata. Saya kagum terhadap semua penulis yang mempu merangkai kata. Menggunakan perumpamaan, membuat dialog yang pas hingga meninggalkan kesan atau menceritakan suasana setting dengan detail dan baik. Saya semakin kagum terlebih saat saya sudah mencoba menulis dan menemukan bahwa menyusun kata-kata sampai menciptakan bacaan yang tidak merepotkan pembaca itu tidak mudah. 

-Juli 2016
Share:

No comments:

Post a Comment