“Ketahuilah Tania dan Dede…. Daun yang jatuh tak pernah membenci angin… Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya. Tania, kau lebih dari dewasa untuk memahami kalimat itu…. Tidak sekarang, esok lusa kau akan tahu artinya…. Dan saat kau tahu apa artinya, semua ini akan terlihat berbeda. Kita harus pulang, Tania” -Danar
Sejak fenomena copy-paste
quote dari akun facebook Tere Liye yang dijadikan status atau caption media sosial, saya jadi penasaran akan buku-bukunya.
Terlebih lagi saat seorang blogger yang blognya sering saya baca
akhir-akhir ini, menyinggung tentangnya di salah satu tulisannya. Biasanya hal-hal
yang sangat menarik perhatianlah yang dibahas dan kemudian dijadikan bahan
renungan melalui beliau di blognya.
Ibu, Tania, dan
Dede. Mereka hidup bertiga melawan kerasnya kehidupan setelah ditinggal ayah.
Ibu bekerja apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tania dan Dede tidak lagi
pergi ke sekolah tiap pagi, melainkan pergi ke terminal dan bus tempat mereka
mengamen dengan baju lusuh tanpa alas kaki. Tiga tahun. Tiga tahun lamanya anak
berumur sebelas dan delapan tahun itu harus hidup di rumah kardus di bantaran
sungai, hanya bersama ibu yang sabar dan tidak pernah mengeluh.
Hidup berjalan
penuh dengan kesulitan sampai mereka bertemu dengan seseorang/dia. Seseorang/dia
yang menjadi malaikat bagi keluarga mereka. Seseorang/dia
yang mengangkat mertabat dan kualitas hidup mereka menjadi manusia seutuhnya. Seseorang/dia yang memberikan kesempatan
yang bertubi-tubi agar keluarga ini bisa menatap masa depan yang cerah. Seseorang/dia yang bernama Danar Danar,
yang keanehan namanya memancing pertanyaan Dede, “nama Oom kok aneh dobel-dobel
gitu?”
Semenjak seorang
malaikat datang ke rumah kardus mereka, cahaya kehidupan tampak semakin terang.
Keadaan lambat laun membaik. Tania dan Dede tumbuh seperti anak-anak lainnya. Sampai pada akhirnya, Tania diperkenalkan pada suatu perasaan yang dia
pun tak mengerti. Malaikat yang seharusnya menjadi kakaknya karna sudah
dianggap anak oleh Ibu terasa berbeda dimatanya. Senang, rindu, berharap,
kecewa, cemburu. Semua perasaan itu silih berganti dirasakan Tania karena
Danar. Bolehkan ia mencintai malaikatnya, bahkan dengan usia yang terpaut
belasan tahun diantara mereka?
Aku bukan daun! Dan aku tak pernah menjadi daun! Aku tak pernah menginginkan perasaan ini, kan? Dia datang begitu saja. Menelusuk hatiku. Tumbuh pelan-pelan seperti kecambah disiram hujan. Aku sungguh tidak menginginkan semua perasaan ini. -Tania
Seperti judulnya,
buku ini bercerita tentang hal mengikhlaskan. Mengikhlaskan kepergian seorang
ibu, mengikhlaskan pengharapan yang tak kunjung datang, mengikhlaskan cinta
bertepuk sebelah tangan, mengikhlaskan keputusan yang salah dalam hidup dan
mengikhlaskan kenyataan bahwa hidup harus terus berjalan.
Ceritanya mengalir
seperti kehidupan. Terus berputar seperti roda. Saat Tania merasa bahwa
harapannya melambung tinggi dan disambut baik oleh Danar, namun setelahnya
harapan itu jatuh dibanting keras ke tanah. Ketika Tania memutuskan untuk menyudahi semuanya perasaannya, namun yang
timbul malah teki-teki yang lama-kelamaan mulai kelihatan titik temunya.
Teki-teki akan sikap ‘ganjil’ Danar yang menjadi alasan harapan Tania selama
bertahun tahun. Dan lagi-lagi keikhlasan
lah yang menjadi pemeran utama dalam cerita ini.
“Bahwa hidup harus menerima…. Penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti… pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami… pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan” - Dede
Hal lain yang saya
sukai dari buku ini selain ‘hal mengikhlaskan’ adalah alurnya. Tere Liye
bercerita maju mundur. Penulis
membawa kita ke dalam renungan dan kenangan Tania akan setiap detik kehidupan
masa lalunya selama 1 jam 17 menit sambil melihat sibuknya pemandangan malam
kota yang basah akibat hujan melalui kaca besar di lantai 2 toko buku terbesar
di kotanya.
Dan dari setiap
menit-menit itulah Tere Liye menceritakan kehidupan Tania, Dede, Ibu, Danar dan
Kak Ratna sampai ketika Tania menemukan potongan-potongan teka-teki yang mulai
kelihatan sambungannya. Klimaks cerita pun diceritakan dengan alur yang sama,
namun dengan intensitas yang lebih tinggi. Alur maju mundur bergantian dengan
cepat berisi berbagai pengakuan seakan melarang pembaca untuk tidak memalingkan
muka dari buku di hadapannya. Membaca bagian kelimaksnya sama seperti menonton Captain America bertarung dengan
Iron Man sambil mengatakan kebenaran yang selama ini mereka pendam di film Civil War.
Selain itu, saya
juga mengagumi cara Tere Liye untuk menyusun cerita dan merangkai kata. Saya
kagum terhadap semua penulis yang
mempu merangkai kata. Menggunakan perumpamaan, membuat dialog yang pas hingga
meninggalkan kesan atau menceritakan suasana setting dengan detail dan baik.
Saya semakin kagum terlebih saat saya sudah mencoba menulis dan menemukan bahwa
menyusun kata-kata sampai menciptakan bacaan yang tidak merepotkan pembaca itu
tidak mudah.
-Juli 2016
No comments:
Post a Comment