Aku mengadahkan wajahku ke langit-langit kamar.
Tanganku terangkat, memegang secarik kertas bertuliskan "Bazaar
Teknik" dengan angka Rp 40.000 di kanan bawahnya. Kupon bazaar makanan. Rutinitas
setiap tahun yang harus dijalankan sebagai mahasiswa di kampus untuk mendukung
kegiatan BEM Fakultas: menjual bazaar kupon makanan. Memang, semakin kita berstatus senior,
jumlah kupon yang harus dijual semakin sedikit. Tapi untuk anak kos seperti ku,
menjual kupon merupakan suatu persoalan ketika teman sepermainan juga sama-sama
seorang perantau yang harus pandai-pandai supaya cukup makan sampai akhir
bulan.
Tiba-tiba terlintas di kepalaku seseorang yang mau
menolong untuk membeli kupon ini. Segera ku raih handphone lalu mengetik SMS
dengan cepat.
Bang,
aku ada kupon bazaar teknik. Abang beli yaa bang, 40 ribu ajaa :D
Tanpa basa basi kutekan icon send. Message sent!
Dia sudah aku anggap seperti abang ku sendiri.
Namanya Roy, aku memanggilnya Bang Roy. Dia mempunyai marga yang sama dengan marga Papa.
Jadi, secara adat bisa dibilang kami ini saudara kandung, berasal dari opung (kakek) yang sama (walaupun tidak
tau opung yang mana karena harus
ditelusuri jauh ke atas) dan tentunya kami tidak boleh pacaran apalagi menikah.
Kami saling mengenal di GKPS Denpasar. GKPS
adalah kependekan dari Gereja Kristen Protestan Simalungun, gereja suku Batak
Simalungun. Aku terlahir sebagai orang Simalungun dari kedua orang tua yang juga
Simalungun. Sejak kecil kami sudah bergereja di GKPS. Mama dan Papa menerima
pemberkatan pernikahan di GKPS, kemudian kami anak-anaknya tardidi (baptis) di GKPS sampai kemudian marguru (belajar sebelum menerima baptis dewasa) dan angkat sidi (baptis dewasa).
Seperti pesan opung ku kepada Mama yang kemudian diteruskan kepada kami, anak-anaknya,
"Kemanapun kalian merantau, langsung cari gereja yang tetap. Kalau perlu urus
surat pindah dari gereja yang lama. Aktif dan ikut ambil bagian di gereja
tersebut. Karena kalau hal terburuk terjadi pada kalian, jemaat gereja bisa
membantu."
Itulah yang mendorong ku untuk kemudian sebisa mungkin mencari GKPS dimanapun
aku berada. Selain itu, peluang bertemu saudara-saudara lebih besar dan
kekeluargaannya lebih terasa. GKPS menjaga ku untuk tetap dekat pada adat
istiadat Simalungun. Bahasa Simalungun, lagu-lagu Haleluya yang berbahasa
Simalungun, tarian Simalungun, pakaian adat Simalungun. Dan... yaa, kali aja
bisa dapat jodoh orang Simalungun :P
Mengikuti jejak Mama yang dulunya seorang
penari Simalungun, aku dan kakak ku sudah didaftarkan di sebuah
sanggar tari Melayu sejak SD. Kemudian pada saat SMP, kami melanjutkan ke sanggar tari Simalungun dan kerap kali diundang untuk mengisi acara di pernikahan adat Simalungun atau acara
pergelaran budaya daerah di Medan. PRSU (Pekan Raya Sumatera Utara) merupakan
panggung terbesarku. Tak hanya berhenti disitu, semangat budaya Simalungun juga
kami bawa ke Pulau Dewata. Ternyata bisa menari di kampung orang jauh lebih
mengesankan! Lagu-lagu Simalungun yang sering mengiringi tarian sudah menjadi
teman. Deideng, Tolu Sahundulan, Sitalasari, Sermadengan-dengan, Horas
Simalungun, Martonun, Haruan Bolo...
Drrrrttt....drrrrtttt...
Aku tersentak dari lamunanku dan segera meraih
handphone yang bergetar. Satu pesan baru, datang dari Bang Roy.
Alo
nang.
Balasan yang sangat singkat. Hanya berisi dua
kata. Bang Roy
memang terbiasa memanggilku nang.
Katanya itu panggilan sayang dalam bahasa Simalungun untuk adik perempuan yang
biasa dipakai di kampung. Kalau alo? Apa
karena aku belum menyampaikan salam dulu ya, sehingga bang Roy membalas dengan
alo? Mungkin maksudnya 'halo'? Tanpa berfikir panjang segera ku balas sms bang
Roy.
Iya, halo baaang. Gimana bang mau ga beli kuponnya? Mau yaa..
Semenit kemudian handphone ku kembali bergetar, muncul lagi balasan dari Bang
Roy.
Alo
itu artinya 'iya' nang.
Hngg.. hening.
HUUAAHAHA! Aku menertawakan kebodohanku
sendiri.
Masih balasan yang singkat, tapi kali ini cukup membuatku berteriak malu. Sayup-sayup terngiang salah satu lagu Simalungun di kepalaku, seakan
menyindir. Simalungun au nimu, Simalungun
au nimu. Bahasa ni pe lang i botoh ham~
- July
2017