Saya ingat terakhir kali saya mengulas sebuah
buku, sekitar 3 tahun yang lalu, dan saya teringat akan hal yang membuat saya
berhenti menulis ulasan buku: sebuah buku karya Pramoedya Ananta Toer yang
berjudul Gadis Pantai. Entah kenapa, seketika nyali saya ciut ketika berhadapan
dengan sebuah nama besar 'Pramoedya'. Siapalah saya ini yang berani-beraninya
mengutarakan pendapat tentang karya seorang penulis besar. Dan yaa, keengganan
menulis ulasan itu ternyata terus berlanjut dan tanpa sadar sudah 3 tahun
berlalu.
Kemudian, hari ini saya berhadapan lagi dengan
sebuah nama besar: Sapardi Djoko Damono, dengan sebuah novel karyanya yang
berjudul Hujan Bulan Juni. Namun kali ini saya tidak lagi ciut. Demi memulai
kembali kebiasaan menulis, saya pecut perasaan pengecut keluar dari hati saya,
menghidupkan laptop dan mulai menulis :D
Saya mengenal Bapak Sapardi dari sebuah puisi
terkenal yang salah satu barisnya yang berkata 'aku ingin mencintaimu dengan sederhana...'. Puisi indah itulah yang
mengantarkan saya membeli salah satu buku puisi terbarunya yang berjudul
Perihal Gendis -yang kemudian ditandatangani oleh Bapak Sapardi sendiri :D- dan
meminjam buku Hujan Bulan Juni dari perpustakaan Ruang Baca.
Hujan Bulan Juni bercerita tentang kisah kasih
Sarwono dan Pingkan, seorang dosen muda dan asisten dosen di universitas
ternama Indonesia. Hal yang paling saya sukai tentang membaca karya seorang penulis terkenal adalah
saya tidak perlu takut dikecewakan oleh karya mereka. Seperti buku ini,
ceritanya sama sekali tidak klise. Semua bagian: dialog, potongan kejadian,
alur, cara penulisan, semuanya seperti punya karakter sendiri, celotehan dan
candaan tidak pasaran. Seperti semuanya itu memang punya Sapardi seorang.
Alur cerita dibuat dinamis, tidak monoton,
walaupun novel ini terlihat sangat simple,
se-simple jumlah halamannya yang
hanya berisi 133 halaman. Jenis novel yang bisa dibaca beberapa jam tanpa stop,
karena memang ceritanya sangat mengalir. Saya sendiri tenggelam dalam kisah Sarwono
dan Pingkan, tentang besarnya rasa sayang mereka, tentang besarnya kegelisahan
mereka satu sama lain, tentang fantasi dan asumsi masing-masing satu sama lain,
tentang betapa dekat dan tulusnya rasa mereka untuk saling mengusahakan satu
sama lain.
Dan saya percaya, dalam suatu karya seorang
pastilah mengandung karakter/roh/jiwa pembuatnya yang memang tidak bisa
dipisahkan. Lahir pada tahun 1940 (yang berarti tahun ini Bapak Sapardi sudah
berumur 79 tahun, dan pada tahun 2015 saat cetakan pertama buku ini, Bapak
Sapardi berumur 75 tahun), Bapak Sapardi dalam menulis Hujan Bulan Juni ini melibatkan
isu tentang perbedaan adat, budaya dan agama di dalam ceritanya, seperti
Sarwono yang Jawa dan Pingkan yang campuran Jawa dan Manado, serta Pingkan yang
bingung apakah itu Jawa atau Manado, atau seperti Sarwono yang Islam dan
Pingkan yang Kristen.
Entah kenapa, saya juga melihat hal yang sama
pada karya penulis senior Pramoedya
Ananta Toer yang berjudul Bumi Manusia, tentang Minke yang Jawa dan Annelies
yang campuran antara Jawa dan Eropa, yang juga bingung apakah ia seorang Jawa
atau Eropa namun selalu menyakinkan dirinya bahwa ia Jawa. Dan sepertinya aspek
budaya ini ditekankan berkali-kali dalam cerita seakan penulis memang ingin
meng-highlight hal ini. Tak hanya
itu, karakter budaya ini juga masuk meresap ke dalam setiap karakter, teruwujud
dari watak, gestur dan dialog setiap karakter.
Berbeda dengan penulis muda sekarang yang sepertinya jarang mengangkat karakter budaya dalam ceritanya atau hanya menampilkan budaya anak muda jaman sekarang: dialog-dialog lo-gue, karakter yang hedon, hobi nongkrong, tinggal di apartemen mewah dan punya karir bagus dalam kehidupannya. Pemikiran seperti ini membuat saya menduga-duga, apakah pada zamannya, penulis-penulis senior itu hidup sangat dekat dengan kebudayaan dan perbedaan kebudayaan itu sendiri sehingga dengan sendirinya membawa hal tersebut kedalam cerita-ceritanya?
Berbeda dengan penulis muda sekarang yang sepertinya jarang mengangkat karakter budaya dalam ceritanya atau hanya menampilkan budaya anak muda jaman sekarang: dialog-dialog lo-gue, karakter yang hedon, hobi nongkrong, tinggal di apartemen mewah dan punya karir bagus dalam kehidupannya. Pemikiran seperti ini membuat saya menduga-duga, apakah pada zamannya, penulis-penulis senior itu hidup sangat dekat dengan kebudayaan dan perbedaan kebudayaan itu sendiri sehingga dengan sendirinya membawa hal tersebut kedalam cerita-ceritanya?
Hujan Bulan Juni juga menyadarkan saya bahwa
tidak ada yang salah dalam membuat karya, kau bisa melakukan apa saja dalam
karyamu. Dalam novel ini saya temukan
Bapak Sapardi menulis satu kaliamat sepanjang satu paragraf tanpa tanda
baca tanpa titik tantap koma ataupun tanda tanya. Sama seperti beberapa lirik
lagu bahasa Inggris yang tidak sesuai grammar,
atau seperti seorang arsitek yang merancang sebuah kandang/rumah anjing dengan
beton dan lengkap dengan pencahayaan dan penghawaan alaminya, atau seperti
Taylor Swift yang tidak mempromosikan albumnya yang berjudul 'Reputation'
karena sesuai dengan nama albumnya, ia membiarkan album tersebut tersebar
dengan sendirinya, dengan reputasi yang dia punya. See? Tidak ada yang salah dengan karyamu, justru dari situlah kau bisa
mengangkat keunikan orisinalitasmu. Seperti kata Andrea Hirata,
"Berkaryalah dan karya itu akan menemukan nasibnya sendiri."
- pada suatu Sabtu
Mei, 2019