let's go get lost

Look at Yourself


Few days ago I got problem when installing application in my phone. Every time I wanted to install an application, there was a notification said that my internal storage is not enough and I had to delete some file. This always happened even when I had emptied my internal storage. At the end, just few application could be installed that are BBM, LINE (these two application spent a lot of my memory -,-) and Instagram. To empty my storage, I tried to move LINE to my external storage, but it was not available.

I feel frustrated because I need the others application such as whatsapp, dictionary, bible, etc for my daily activity and communication. To solve this problem, many thoughts came to my mind. Start from reboot my phone (I have an android) until sell it and buy the new one (what a brilliant terrible thought), but none of them I could do. First, I couldn't reboot my phone because I was not a genius-IT person and I was afraid to take any risk that be able to crush my phone. Second, I couldn’t sell my phone because I knew the price must be very cheap and I didn't have enough money to buy the new one. Arrrgghhh..

One thing that I could do is share it to my beloved sister. Luckily, she said something that realized me. She told me to look at the size of LINE or BBM application. She said maybe the large size of the data came from the chat history that I never deleted. Immediately, I looked at my chat bar and tried to delete some. And what I got was there were more than 300 chats that I never deleted so long. Even deleted these-so-much-history-chats made my phone stop working. OMG! I felt like an idiot. After cleaning the chat history, my internal storage emptied and be able to breathe-back automatically. Horaay!

The reason why I write this is because I get some worthy point to consider. I think that we (all people who live under the clouds in this earth -include me-) often experience same thing when we get a problem. We stuck, frustrated, revile, complain, blame other and try to change ourselves become another people without look at ourselves first. We forget to look into our thought, our heart, our behavior, or our words. We forget to seek our own ‘trash’ that could be the cause of our problem.

Whereas, when we look at ourselves first, we can realize what truly happened. If we could find our trash -like a lot of unnecessary chat history in my phone-, we will be able to clean up ourselves and become a better person. We become a positive person by not always complaining and blaming others for everything happened to us. We cold breathe freshly and turn into someone new, and that’s good for our life. So, let’s take your time for a while and look at yourself first to live a better life.

image source : atpscience.com


- July, 2016
Share:
Read More

[Book Review] Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin - Tere-Liye, 2010


“Ketahuilah Tania dan Dede…. Daun yang jatuh tak pernah membenci angin… Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya. Tania, kau lebih dari dewasa untuk memahami kalimat itu…. Tidak sekarang, esok lusa kau akan tahu artinya…. Dan saat kau tahu apa artinya, semua ini akan terlihat berbeda. Kita harus pulang, Tania” -Danar

Sejak fenomena copy-paste quote dari akun facebook Tere Liye yang dijadikan status atau caption media sosial, saya jadi penasaran akan buku-bukunya. Terlebih lagi saat seorang blogger yang blognya sering saya baca akhir-akhir ini, menyinggung tentangnya di salah satu tulisannya. Biasanya hal-hal yang sangat menarik perhatianlah yang dibahas dan kemudian dijadikan bahan renungan melalui beliau di blognya.

Ibu, Tania, dan Dede. Mereka hidup bertiga melawan kerasnya kehidupan setelah ditinggal ayah. Ibu bekerja apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tania dan Dede tidak lagi pergi ke sekolah tiap pagi, melainkan pergi ke terminal dan bus tempat mereka mengamen dengan baju lusuh tanpa alas kaki. Tiga tahun. Tiga tahun lamanya anak berumur sebelas dan delapan tahun itu harus hidup di rumah kardus di bantaran sungai, hanya bersama ibu yang sabar dan tidak pernah mengeluh.

Hidup berjalan penuh dengan kesulitan sampai mereka bertemu dengan seseorang/dia. Seseorang/dia yang menjadi malaikat bagi keluarga mereka. Seseorang/dia yang mengangkat mertabat dan kualitas hidup mereka menjadi manusia seutuhnya. Seseorang/dia yang memberikan kesempatan yang bertubi-tubi agar keluarga ini bisa menatap masa depan yang cerah. Seseorang/dia yang bernama Danar Danar, yang keanehan namanya memancing pertanyaan Dede, “nama Oom kok aneh dobel-dobel gitu?”

Semenjak seorang malaikat datang ke rumah kardus mereka, cahaya kehidupan tampak semakin terang. Keadaan lambat laun membaik. Tania dan Dede tumbuh seperti anak-anak lainnya. Sampai pada akhirnya, Tania diperkenalkan pada suatu perasaan yang dia pun tak mengerti. Malaikat yang seharusnya menjadi kakaknya karna sudah dianggap anak oleh Ibu terasa berbeda dimatanya. Senang, rindu, berharap, kecewa, cemburu. Semua perasaan itu silih berganti dirasakan Tania karena Danar. Bolehkan ia mencintai malaikatnya, bahkan dengan usia yang terpaut belasan tahun diantara mereka?

Aku bukan daun! Dan aku tak pernah menjadi daun! Aku tak pernah menginginkan perasaan ini, kan? Dia datang begitu saja. Menelusuk hatiku. Tumbuh pelan-pelan seperti kecambah disiram hujan. Aku sungguh tidak menginginkan semua perasaan ini. -Tania

Seperti judulnya, buku ini bercerita tentang hal mengikhlaskan. Mengikhlaskan kepergian seorang ibu, mengikhlaskan pengharapan yang tak kunjung datang, mengikhlaskan cinta bertepuk sebelah tangan, mengikhlaskan keputusan yang salah dalam hidup dan mengikhlaskan kenyataan bahwa hidup harus terus berjalan.

Ceritanya mengalir seperti kehidupan. Terus berputar seperti roda. Saat Tania merasa bahwa harapannya melambung tinggi dan disambut baik oleh Danar, namun setelahnya harapan itu jatuh dibanting keras ke tanah.  Ketika Tania memutuskan untuk menyudahi semuanya perasaannya, namun yang timbul malah teki-teki yang lama-kelamaan mulai kelihatan titik temunya. Teki-teki akan sikap ‘ganjil’ Danar yang menjadi alasan harapan Tania selama bertahun tahun.  Dan lagi-lagi keikhlasan lah yang menjadi pemeran utama dalam cerita ini.

“Bahwa hidup harus menerima…. Penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti… pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami… pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan” - Dede

Hal lain yang saya sukai dari buku ini selain ‘hal mengikhlaskan’ adalah alurnya. Tere Liye bercerita maju mundur. Penulis membawa kita ke dalam renungan dan kenangan Tania akan setiap detik kehidupan masa lalunya selama 1 jam 17 menit sambil melihat sibuknya pemandangan malam kota yang basah akibat hujan melalui kaca besar di lantai 2 toko buku terbesar di kotanya.

Dan dari setiap menit-menit itulah Tere Liye menceritakan kehidupan Tania, Dede, Ibu, Danar dan Kak Ratna sampai ketika Tania menemukan potongan-potongan teka-teki yang mulai kelihatan sambungannya. Klimaks cerita pun diceritakan dengan alur yang sama, namun dengan intensitas yang lebih tinggi. Alur maju mundur bergantian dengan cepat berisi berbagai pengakuan seakan melarang pembaca untuk tidak memalingkan muka dari buku di hadapannya. Membaca bagian kelimaksnya sama seperti menonton Captain America bertarung dengan Iron Man sambil mengatakan kebenaran yang selama ini mereka pendam di film Civil War.

Selain itu, saya juga mengagumi cara Tere Liye untuk menyusun cerita dan merangkai kata. Saya kagum terhadap semua penulis yang mempu merangkai kata. Menggunakan perumpamaan, membuat dialog yang pas hingga meninggalkan kesan atau menceritakan suasana setting dengan detail dan baik. Saya semakin kagum terlebih saat saya sudah mencoba menulis dan menemukan bahwa menyusun kata-kata sampai menciptakan bacaan yang tidak merepotkan pembaca itu tidak mudah. 

-Juli 2016
Share:
Read More
,

Ulang! (Bukan) Pulang!

[inspired by true story]


Aku mengetuk-ngetuk jari ke layar handphone yang menunjukkan waktu pagi itu. Gawat, 5 menit lagi! Ayo ngebut dong pak sopir, teriakku dalam hati. Sekolahku tinggal berjarak 1 km lagi, tapi keadaan angkot yang dari tadi sibuk menurunkan penumpang mahasiswa di universitas negeri di dekat sekolah memperlambat jarak tempuh. Kalau bukan karena mendapat jadwal bertugas sebagai pemimpin paduan suara, aku tidak akan sepanik ini. Ah, kesiangan sialan! Hanya telat beberapa menit saja jalanan sudah ramai. Tiga angkot yang ku stop meninggalkan ku begitu saja dengan tega karena penumpangnya sudah penuh.

Ditambah lagi perut yang mules akibat gugup membayangkan aku akan berjalan ke depan dan memimpin paduan suara pada saat upacara nanti, walaupun ini bukan pertama kalinya. Sebagai anggota paskibra sekolah, setiap angkatan akan digilir untuk bertugas pada upacara senin pagi. Kebetulan pagi ini merupakan jadwal angkatan ku, angkatan 13.

Sesampainya di sekolah, gerbang masuk sudah sepi. Aku langsung melompat dari angkot, membayar ongkos dan berlari menuju gerbang sekolah.

“Cepat! Cepat! Sudah mau mulai upacara itu!” teriak Pak Site, satpam yang sudah kukenal baik akibat kebiasaan ku yang selalu bermasalah dengan waktu.

Benar saja. Sesampainya di lapangan upacara, semua siswa sudah berkumpul menunggu dibariskan. Untung belum mulai. Segera ku letakkan tas ke ruangan yang menjadi tempat tujuan pertama anggota Paskibra (yang umunya menjadi pengurus OSIS) di sekolahku setiap pulang sekolah, yaitu ruang OSIS, kemudian berlari secepat mungkin ke lapangan upacara.

Menjadi murid perempuan di sekolah STM membuatku menjadikan ku sebagai kaum minoritas, jumlah kami hanya sekitar 10% dari total keseluruhan murid laki-laki. Makanya, setiap upacara kami berbaris terpisah dengan murid laki-laki dan bertugas sebagai paduan suara. Segera kusiapkan kelompok paduan suara dan mengambil barisan di paling kanan, tempat pemimpin paduan suara.

Upacara pun dimulai. Baru saja masalah kepanikan akibat insiden hampir terlambat selesai, masalah yang lain muncul lagi. Jantung berdetak cepat dan perut mules, gugup. Aku mencoba menenangkan diri sampai giliran ku memimpin paduan suara untuk lagu Indonesia Raya. Pengibar dari angkatanku sudah bersiap-siap dan jalan tegap menuju tiang bendera dengan kaki berderap serentak. Aku menarik nada dasar lalu kelompok paduan suara bernyanyi. Bertepatan dengan berakhirnya lagu Indonesia Raya, bendera sampai di ujung tiangnya. Hufft, berhasil.

Kemudian upacara dilanjutkan sampai tiba saatnya menyanyikan salah satu lagu nasional. Giliranku lagi. Aku menarik napas dan mengambil langkah tegap ke depan kelompok paduan suara, dan seketika itu juga menyadari bahwa aku belum mempersiapkan lagu yang akan dinyanyikan. Astaga! Lagu nasional.. lagu.. lagu… Pancasila saja! Pikirku cepat. Segera aku menarik nada dasar yang diikuti oleh nyanyian tim paduan suara. Bait pertama lancar.. bait kedua lancar.. Sampai di pertengahan lagu, tempo lagu mulai tidak jelas. Aku sampai harus mengeraskan suaraku agar siswi yang lain mengikuti. Lama kelamaan tempo makin hancur, tim paduan suara berlomba-lomba menyanyi sampai di akhir lagu dan kemudian terdengar suara gaduh bercampur gelak tawa murid laki-laki. Sial!!

Aku tertunduk malu dan langsung menghadap ke kiri untuk bersiap kembali ke barisan. Andai saja muka ini bisa dicopot dan disimpan di kantong untuk sementara. Tapi tiba-tiba…

 “PULANG!” teriak sebuah suara dari mikrofon.

Suara tegas itu milik Pak Aswar, kepala sekolah yang berdiri di podium sebagai pembina upacara. Aku terkejut. Hah? Pulang??? Oke, tidak bisa memimpin paduan suara dengan baik dan mengakibatkan kegaduhan di tengah-tengah upacara memang sebuah kesalahan, tapi disuruh pulang? Masa iya aku harus lari ke ruang OSIS mengambil tas lalu pulang ke rumah karena kesalahan pagi ini? Di benakku langsung terbayang gambar diriku yang menunduk malu, menyeret koper dan berjalan pulang seperti peserta pencarian bakat tereliminasi. Aku terdiam sejenak, bingung, panik.

“Ri! Ayo Ri mulai lagi. Ri!” bisikan seorang teman menyadarkan ku. Hah? Aku makin bingung.

“ULANG!” teriak Pas Aswar dari podium, lagi.

Ulang? Pulang? Pulang? Ulang? Oh, ulang! Otakku langsung bekerja lebih cepat sepersekian detik menyadari apa yang telah terjadi. Ternyata dari awal Pak Aswar mengatakan ulang, bukan pulang. Aku langsung bersiap-siap dan kembali menarik nada dasar. Kali ini dengan anggukan dan senyuman elegan agar tim paduan suara mau diajak kerja sama. Tim paduan suara pun mulai bernyanyi. Bait pertama lancar, bait kedua lancar, reff lancar kemudian ditutup dengan serentak tanpa berlomba-lomba lagi. Aku memberi tanda penutup sambil tersenyum lega, kemudian kembali ke barisan.

Huuuuffffftttt, legaaa... Upacara berakhir dengan penghormatan pembina upacara dan pemimpin upacara. Peserta upacara tidak lagi bersiap dan lebih santai. Kemudian Pak Simson, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan yang terkenal galak tapi baik hati naik ke atas podium lalu mengambil mikrofon.

“Dengarkan! Upacara pagi ini sudah selesai. Dan kalian, cewek-cewek paduan suara tinggal dulu di lapangan. Nyanyi apa itu kek gitu?! Yang lainnya boleh masuk kelas!” tatapannya tajam kearah kelompok paduan suara lengkap dengan logat bataknya yang khas.
Deg! Gawat, mati aku maaaakk...!! 

- Juli 2016
Thanks to SMKN 1 PST for giving me
 so many unforgettable super 
exciting high school memories
Share:
Read More

Ketinggalan Kereta di Jakarta

sumber : infojalan-jalan.com

Kata orang, hidup di Jakarta itu keras. Jakarta hanya untuk orang-orang yang mau berjuang dan sigap. Tidak ada kata manja. Lambat sedikit akan tertinggal. Telat sedikit jalanan sudah macet. Orang-orang berlari. Mengejar transjakarta, berimpit-impitan di commuter line. Semuanya demi bekerja dan bertahan hidup di ibukota Indonesia bernama Jakarta.

Setelah 4 hari bertualang di Belitung, saya dan teman saya hendak pulang ke Jember. Tidak ada penerbangan langsung, sehingga kami harus singgah di Jakarta lanjut naik kereta ke Surabaya lalu ke Jember. Dengan kondisi keuangan yang menipis, kami memutuskan menggunakan kereta ekonomi yang tiketnya baru ada beberapa hari kemudian. Alhasil, kami mengunjungi rumah panggi (panggilan untuk adiknya ayah paling kecil, dalam batak Simalungun) saya di Depok, sekalian menunggu hari keberangkatan.

Kereta dijadwalkan berangkat pukul 11.00 WIB. Dari Stasiun Pasar Senen, kami menggunakan kereta Jayabaya dengan tujuan Surabaya, lalu mengambil kereta Probowangi ke Jember. Sehari sebelum keberangkatan, panggi sudah menyarankan untuk berangkat jam 08.00 WIB dari Depok, supaya perjalanannya santai dan tidak terburu-buru, lalu naik commuter line dan gojek menuju Stasiun Pasar Senen. Kami yang tidak tahu apa-apa mengenai Jakarta pun menurut saja, yang penting sampai di Stasiun Pasar Senen.

06.30 WIB
Keesokan paginya kami bangun dan bersiap-siap. Tas dan barang bawaan sudah di packing malam sebelumnya.

08.00 WIB
Setelah mandi dan sarapan, kami diantar menggunakan mobil menuju stasiun kereta Depok. Sesampainya di stasiun, sudah banyak orang yang lalu lalang kesana kemari. Katanya jam segini memang jamnya orang pergi kerja. Kami membeli tiket dan diantar nanggi (panggilan untuk istrinya panggi, dalam batak Simalungun) untuk naik kereta. Ada dua buah kereta yang berhenti dengan pintu terbuka. Dua-duanya sudah penuh. Saking penuhnya, saya rasa orang yang di dalam tidak perlu lagi berpegangan pada handle yang menggantung di kereta. Setelah menunggu lama, kereta tidak juga berangkat. Akhirnya kami mendapat info bahwa kereta sedang eror karena ada kereta yang anjlok.
Kami pun segera keluar dari stasiun yang masih penuh dengan orang lalu lalang. Belum lagi tas travel besar yang harus kami jinjing kesana-kemari. “Ada kereta yang anjlok. Tadi pagi ternyata udah ada beritanya di TV, tapi kita nggak liat karena Ale nonton kartun” Panggi langsung memberi informasi yang didapatnya dari petugas stasiun. Oalaah..

09.00 WIB
Kami buru-buru kembali ke mobil. Jalanan tambah ramai dan padat. Orang-orang pasti pada turun ke jalan mencari alternatif lain. Orderan gojek meningkat, mobil di jalanan pun meningkat. Akhirnya panggi memutuskan untuk mengantar kami dengan mobil. Namun perjalanan rasanya lama sekali, dimana-mana macet. Klakson disana-sini. Jam pun terus berputar menuju angka 11. Gawat. Kami mulai panik.

10.00 WIB
Akhirnya panggi menyarankan agar kami melanjutkan perjalanan ke Stasiun Pasar Senen menggunakan gojek, biar bisa ngebut dan nyalip. Kami menurut. Di bawah jembatan penyebrangan, kami menunggu dua pesanan gojek. Keadaan masih ramai, padat dan bising. Petugas kepolisian sibuk menertibkan mobil dan motor yang parkir menghalangi jalan, orang-orang sibuk mengejar waktu. Begitu juga saya, sibuk menunggu gojek vario putih.
“Mas Ari ya?” tanya saya kepada pengendara vario putih dengan jaket hijau khas gojek
“Ke Kalibata ya mbak?” tanyanya lagi sambil sibuk melihat gadgetnya
“Bukan mas, saya order ke Stasiun Pasar Senen tadi. Orderannya Laura”
“Loh, saya ke Kalibata mbak. Yang order Tina. Mbak Tina bukan?
“Ehhh salah berarti mas. Bukan saya.” saya cuman bisa garuk-garuk kepala, bingung. Mas gojek vario putih orderan saya tak kunjung datang.

10.20 WIB
Akhirnya saya bertemu dengan mas gojek saya yang ternyata dari tadi sudah kebingungan nyari pengordernya. 40 menit lagi kereta berangkat. Setelah berpamitan singkat dengan panggi dan nanggi, kami tancap gas menuju Stasiun Pasar Senen. Jalanan masih padat dan macet, belum lagi teriknya matahari. Untuk meredakan kepanikan, saya coba ngobrol dengan mas-mas gojeknya.
“Mas, pasar senennya udah dekat kan ya dari sini?”
“Wahh.. nggak mbak. Masih jauh dari sini, apalagi macet begini” jawab mas gojek dengan polosnya. Jleb! Sungguh jawaban yang tidak diinginkan. Bukannya jadi lebih tenang, saya malah makin panik.
Sambil menembus kepadatan Jakarta yang terik, saya mengatur rencana dengan teman saya yang sudah jalan di depan dengan gojek lain. Nanti begitu sampai di stasiun langsung lari ngeprint tiket ya cong, nanti aku yang ngecek keretanya. Oke, jawabnya.

11.00 WIB
“5 menit lagi nyampe nih mbak”, kata mas gojeknya. Benar saja, 5 menit kemudian saya sampai di depan stasiun. Saya langsung lari setelah membayar gojek dan mengucapkan terimakasih karena sudah mau ngebut demi penumpangnya yang mengejar kereta. Di depan, saya juga lihat teman saya yang juga lari-lari sambil membawa tas travel.
“Jayabaya udah berangkat, Mbak!” teriak seorang bapak kearah kami. Sampai sekarang, darimana bapak tersebut tahu kami mengejar Jayabaya masih menjadi misteri. Teman saya langsung mengambil antrian untuk print tiket, sedangkan saya lari ke bagian gate boarding kereta.

11.10 WIB.
“Jayabaya disini ya pak?” saya bertanya sambil ngos-ngosan
“Jayabaya udah berangkat barusan, mbak.” Jawab bapak petugas kereta. Saya sampai bertanya 3 kali kepada bapak itu, yang dijawab dengan jawaban yang sama.
Haaahh, tubuh saya lemas. Terbayang dua tiket kereta seharga Rp.100.000 melayang begitu saja. Airmata sudah mau keluar membayangkan perjuangan mengejar kereta dari pagi tadi. Teman saya datang dengan dua tiket yang telah di print di tangan, dengan muka yang sama lemasnya.
Kereta tidak bisa dikejar dan tiket tidak bisa direfund. Tidak ada tempat menginap untuk menunggu kereta keesokan harinya. Kami pun memutuskan untuk membeli tiket kereta Kertajaya untuk keberangkatan pukul 14.00 WIB. Masih kereta ekonomi, tapi harganya lebih mahal, Rp. 150.000. Jadwal sampainya masih bisa mengejar kereta Probowangi yang dijadwalkan berangkat pukul 04.00 WIB dari Surabaya. Untung saja sebelumnya panggi memberikan uang jajan, lumayan untuk beli tiket kereta baru. Tuhan memang tidak pernah memberi cobaan diluar kemampuan anakNya, hehe.

12.30 WIB
Kami mendapat tiket kereta Kertajaya.

13.00 WIB
Makan siang. Beli seporsi soto dengan tambahan nasi satu bungkus. Murah dan tetap kenyang.

14.00 WIB
Berangkat dari Stasiun Pasar Senen menuju Surabaya.

Keesokan harinya, 02.00 WIB
Sampai di Surabaya.

04.00 WIB
Berangkat dari Stasiun Pasar Turi menuju Jember.

09.00 WIB
Finally, sampai di Jember dengan selamat.


Jakarta sungguh memberikan kami pengalaman yang luar biasa.


- Juni, 2016
Share:
Read More

[Book Review] The Scent of Sake - Joyce Lebra (2009)



Ketika membaca judul dan sinopsis novel diatas, saya langsung tahu kalau novel ini mengambil cerita dari Jepang. Jujur saja, sejak mencoba membaca novel karya Haruki Murakami, ketertarikan saya tentang Jepang meningkat. Tapi ketertarikan akan buku ini semakin meningkat ketika melihat nama penulisnya, Joyce Lebra, yang -menurut saya- sama sekali tidak ke jepang-jepangan.

Setelah melihat profil penulis dan sedikit browsing di internet, ternyata Joyce Lebra adalah seorang profesor di Universitas Colorado yang diakui sebagai ahli dalam kebudayaan perempuan Jepang, India dan Asia. Beliau tinggal di Jepang selama 10 tahun untuk melakukan penelitian tentang sejarah Jepang. Proses yang panjang memang mampu menghasilkan karya yang mengagumkan. Dalam The Scent of Sake, tulisan Joyce hidup dan mengalir, seperti ia pernah hidup di setting ceritanya. Ia menulis tentang kebudayaan, sejarah, arsitektur sampai perkembangan bisnis sake dari masa ke masa.

Buku ini bercerita tentang Rie, seorang anak perempuan yang merupakan pewaris bisnis sake keluarga Omura. Dengan setting waktu berpuluh-puluh tahun sebelum Edo berubah nama menjadi Tokyo, Rie hidup di sistem budaya Jepang kuno. Sebagai pewaris bisnis sake, Rie mempunyai kewajiban untuk meneruskan bisnis turun-temurun yang telah dikelola keluarganya selama 9 generasi, namun kehadirannya sebagai seorang anak perempuan membuat gerak-geriknya sangat terbatas. Pada masa itu, seorang anak perempuan haruslah berada di dapur. Urusan sake adalah urusan laki-laki. Bahkan kepercayaan yang berkembang mengatakan bahwa perempuan mampu membuat sake menjadi masam. Bagaimana mungkin Rei bisa mengemban tugasnya tanpa harus ikut campur sedikit pun tentang bisnis sake keluarganya?

Melalui Rei, Joyce mengangkat isu sosial terkait perbedaan gender yang sudah tertanam pada masa itu. Layaknya Kartini di Indonesia, Rei yang cerdas menempatkan dirinya sebagai perempuan yang tetap menjalankan kodratnya sambil melibatkan diri dalam keputusan bisnis tanpa berusaha terlihat ikut campur. Perjuangan Rei diwarnai dengan berbagai kesulitan, bahkan Rei harus rela mengorbankan kebahagiaannya sendiri demi kemajuan bisnis sake keluarga Omura.

Joyce juga bercerita tentang tradisi dalam bisnis sake yang dianggap sangat dihormati di daerahnya pada masa itu. Segala bentuk persaingan, strategi, inovasi dan keberanian dalam mengambil keputusan diceritakan dengan konfliknya sendiri-sendiri, juga tentang kesetiaan dan loyalitas. Kemampuan untuk cepat beradaptasi dengan perkembangan jaman dan modernitas diceritakan seiring dengan berakhirnya zaman Edo yang ditandai dengan masuknya bangsawan dan masyarakat yang semakin maju.  Sebuah bisnis turun-temurun yang diikat tradisi dengan ketat perlahan-lahan dikenalkan dengan bisnis sampingan dan istilah perusahaan perseroan. Bukan hanya dalam hal bisnis saja, pengaruh budaya barat dalam hal teknologi dan arsitektur juga diangkat ke dalam cerita.

Banyak hal baru yang saya dapat tentang budaya Jepang dalam novel ini, termasuk istilah-istilah dalam Bahasa Jepang yang diartikan melalui footnote. Misalnya kura yang berarti rumah sake, hibachi yang berarti perangkat pemanas tradisional Jepang, tatami yang berarti jenis tikar yang digunakan sebagai bahan lantai tradisional gaya Jepang, zabuton yang berarti sejenis bantal yang digunakan untuk duduk dilantai, kurabito yang berarti sebutan untuk pembuat sake, dan banyak lagi lainnya. Sangat menarik, menurut saya, ketika budaya dan sejarah yang nyata diperkenalkan melalui suatu kisah fiksi yang menginspirasi.

Pasang surut kehidupan Rei diceritakan secara cepat dan mengalir tanpa membiarkan pembaca kehilangan satu moment pun. Novel ini bercerita tentang kehidupan berpuluh-puluh tahun lamanya, seperti perjalanan hidup seseorang yang selalu diwarnai suka dan duka. Sampai halaman akhir, saya tidak menemukan konflik yang klimaks dan berujung penyelesaian seperti novel-novel lainnya, juga tidak ada adegan-adegan drama yang berlebihan. Setiap bagian cerita mempunya konflik, klimaks dan penyelesaiannya sendiri, tanpa ada yang menonjol berlebihan. Sekilas mungkin novel ini terasa berat dan membosankan, namun di situlah letak kenikmatan membacanya. Kita seakan-akan disuruh duduk santai menikmati kehidupan Rei; kegelisahannya, kebijaksanaannya, kecerdasannya, keibuannya, ketenangannya, ketegasannya dan keberaniannya dengan balutan sejarah dan budaya Jepang dalam proses memperjuangkan mimpi dan kebahagiaannya.



Juni, 2016
Share:
Read More

Masjid Muhammad Cheng-Hoo, Merayakan Bhineka Tunggal Ika Melalui Arsitektur


“Kalau jadi Hindu jangan jadi India, kalau jadi Islam jangan jadi Arab, kalau jadi Kristen jangan jadi Yahudi. Tetaplah jadi orang nusantara dengan budaya nusantara yang kaya raya.” -Soekarno Hatta

Salah satu hal yang saya sukai dari kegiatan traveling adalah saya bisa menemukan banyak hal baru. Apakah itu sesuatu yang kita lihat, hirup, raba atau rasakan. Seperti Masjid Muhammad Cheng Hoo yang berlokasi di Kota Jember, bangunan ini merupakan bangunan masjid pertama yang saya lihat dengan arsitektur khas Tionghoa. Masjid yang umumnya berarsitektur Islam, kini hadir dengan arsitektur khas Tionghoa yang keberadaan penduduknya di Indonesia, khusunya di kota Jember, masih minoritas, hanya sekitar 10% dari total penduduk kota Jember.

Walaupun pada masa sekarang arsitektur masjid sudah lebih bervariasi dan mengangkat budaya lokal, namun kebanyakan masjid di Indonesia masih menganut arsitektur khas Islam yang berasal dari Timur Tengah dengan kubah dan menara. Namun berbeda dengan Masjid Muhammad Cheng Hoo, bangunan ibadah yang dibangun umat Islam keturunan Tionghoa yang ada di Jember ini mengangkat ciri khas arsitektur Tionghoa menyerupai Klenteng. Eksteriornya berwarna merah, hijau dan kuning dengan atap limasan yang ujungnya melengkung. Menara yang biasanya ada pada bangunan masjid menyerupai pagoda segi delapan yang desainnya masih harmonis dengan bangunan masjid. Kolom strukturnya juga  memakai ornamen ragam hias dengan warna merah dan kuning keemasan.

Tidak melupakan arsitektur Timur Tengah, masjid Muhammad Cheng Hoo memakai lengkungan sebagai pintu masuk dan kaligrafi di bagian dinding dan interiornya. Menurut informasi yang didapat dari jemberonline.com, masjid ini juga sarat makna pada setiap ukurannya. Bangunan berukuran 11m x 9 m yang berarti angka 11 bahwa ukuran Kabbah saat dibangun dan 9 sebagai lambang Wali Songo yang sangat berjasa besar dalam dakwah Islam di Jawa.

Masjid Muhammad Cheng Hoo

Interior Masjid Muhammad Cheng Hoo. Perpaduan unik antara kaligrafi dengan warna-warna khas arsitektur Tionghoa

Kaligrafi pada dinding dan pagoda segi delapan

Melihat keadaan Indonesia yang sangat kaya akan perbedaan, bangunan ini dipandang sebagai sesuatu yang sangat unik. Melalui arsitekturnya, Masjid Muhammad Cheng Hoo seolah-olah berpesan “walaupun kita berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Masjid Muhammad Cheng Hoo mampu merayakan Bhineka Tunggal Ika melalui arsitektur, karena Islam bukan berarti Arab dan Kristen bukan berarti Yahudi. Ketika arsitektur saja bisa menyatukan perbedaan dengan baik, kenapa kita sebagai manusia tidak?


Juni 2016


Share:
Read More

God is So Good!



Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobali melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai, Ia akan memberikan kapadamu jalan keluar sehingga kamu dapat menanggungnya. – 1 Korintus 10:13

Aku mengangkat kepalaku dari alkitab pada sesi pembacaan epistle, tersadar bahwa Tuhan sedang memberikaku kekuatan melalui kitab Korintus yang baru saja kubaca. Ku hela nafas berat, sesak. Jujur saja, minggu pagi ini terasa berat. Sangat berat sampai-sampai takut menghadapi hari esok. Satu tujuan datang ke gereja kali ini hanya untuk menenangkan diri dari masalah yang sedang menghadang jalan, berharap mendapat ketenangan hati dari Sang Pencipta. Lalu ketika pemimpin ibadah mengajak berdoa, kupanjatkan doa dengan khusyuk dan sungguh-sungguh, kusampaikan semua kekhawatiran dan ketakutanku, tanpa sadar air mata mengalir di pipi.

Mungkin bagi seseorang, pangan menjadi masalah hidupnya. Tetapi bagi orang yang lain, bukan pangan melainkan sandang. Satu hal yang penting adalah bagaimana kita menyerahkan segala masalah kita kepada Tuhan dan datang kepadaNya. Iman mendatangkan pengharapan. Dan ketika pengharapan itu ada, masalah kita hilang saat itu juga. Mungkin orang lain akan bersusah hati ketika menghadapi masalah yang sama, namun orang yang berpengharapan tidak. Ia tetap bersukacita walaupun tahu masalah tetap ada, karena yakin Tuhan akan menguatkan dan menolongnya.” Khotbah Pendeta yang diambil dari Yesaya 55 : 1-9 terngiang di kepalaku.

Tertegun, aku merasa Tuhan berbicara secara pribadi lagi, kali ini melalui Pak Pendeta. Aku menghela nafas untuk kedua kalinya. Ah, betapa baiknya Tuhan itu. Bahkan disaat aku jauh dariNya pun, Dia masih mau berbicara kepada anaknya yang berdosa ini. Saat aku menduakanNya dengan hal-hal duniawi, Ia masih mau menegur dan mengingatkan. Mungkin cobaan ini hanyalah caraNya untuk meruntuhkan kesombongan tentang anggapan ‘aku baik-baik saja tanpa dekat dengan Tuhan’. Atau memberi kesadaran untuk segera menyendengkan telinga kepada perkataanNya, “Jangan khawatir!”

Peristiwa ini membuatku merenungkan hal lain. Seberapa mau kita tetap disiplin dalam doa dan saat teduh saat kita berada di zona nyaman? Kesombongan membawa kita terbang jauh dari Tuhan, melepaskan genggaman tangan kita dari genggaman tanganNya yang selalu menggenggam kita erat.

Melalui perkataan-Nya pagi ini muncul rasa rindu untuk kembali intim denganNya. Ku panjatkan permohonan maaf karena baru datang disaat sedang berada diposisi bawah roda kehidupan. Ku naikkan syukur untuk segala hal yang terjadi dalam hidup, baik atau buruk. Sambil memohon kekuatan dari Tuhan, aku membuka mata dan merasa hati lebih tenang. Lega. Berpengharapan. Mungkin hari esok akan menjadi lebih buruk, tapi aku tahu Tuhan siap menolongku.

“Sendengkanlah telingamu dan datanglah kepadaKu; dengarkanlah, maka kamu akan hidup! Aku hendak mengikat perjanjian abadi dengan kamu, menurut kasih setia yang teguh yang Kujanjikan kepada Daud.” Yesaya 55 : 3

Terima kasih Tuhan, Engkau sungguh baik.



sumber gambar : quotlr.com
Share:
Read More

Kopi dan Arsitektur



Huah, akhirnya bisa nulis juga. Pertama, perkenankan saya meminta maaf untuk tulisan Virtual Trip to Nusa Penida yang belum selesai, padahal deadlinenya Februari kemarin, huhuuu. Kedua, permintaan maaf untuk diri sendiri yang ga nepatin janji untuk nulis dan posting di blog ini minimal sebulan sekali. I had missed the March one. Alasannya? Kalian akan tahu setelah membaca habis tulisan ini.

Beberapa minggu yang lalu, sebuah pikiran tercetus dikepala saat menonton iklan produk kopi di TV. Iklan kopi dengan jargon “Lebih Berani Kopi” ini hadir dengan model seorang arsitek yang kehilangan semangat dan fokus. Dengan gantengnya arsitek tersebut menyeruput kopi sambil berkata “Langsung melek!” dan kemudian lanjut kerja lagi. Iklan-iklan yang begini selalu dikaitkan dengan arsitek.

Setelah dilihat-lihat lagi, salah satu iklan produk vitamin penambah tenaga juga memakai profesi arsitek sebagai modelnya, iklan produk minuman isotonic juga. Kim Do Jin, arsitek -ganteng-dan-cool-tapi-lucu dalam film A Gentleman’s Dignity juga terlihat beberapa kali meminum semacam vitamin C yang dilarutkan ke dalam air. Mungkin untuk menjaga badannya tetap vit (kalo contoh yang ini berdasarkan pengamatan dan pendapat pribadi sih. Btw, drama korea ini recommended banget untuk ditonton. Lucu lucu romantic gimana gituuu, hehe)

Sebegitu melelahkannya kah menjadi seorang arsitek? Tidak tahu, karena aku sendiri belum menjadi arsitek. Tapi kalau ditanya sebagai mahasiswa arsitek, jawabannya adalah ya, cukup melelahkan. Terutama pada saat masa studio Tugas Akhir (TA) seperti yang sedang dijalani saat ini. Bisa dibilang masa studio TA itu seperti proses persalinan ibu-ibu yang sudah bukaan 9, puncaknya dari rasa semua rasa sakit selama persalinan. Rasanya paling sakit jika dibandingkan dengan studio-studio sebelumnya, hehe..

Bayangkan saja, pada periode TA kali ini, kita harus stay selama 43 hari di kampus dari jam 07.30-17.30 dari Senin sampai Sabtu. Kita juga harus gambar, asistensi, revisi, lalu gambar lagi, asistensi lagi dan revisi lagi. Belum lagi setiap 2 minggu sekali ada evaluasi yang pengumpulannya harus tepat waktu. Dengan banyaknya gambar kerja yang harus dibuat, malam harinya sepulang studio pun harus lanjut begadang demi terpenuhinya setiap materi yang ada di form nilai. Makin menghitam kantong mata adek, bang. Menulis pun tak sempat. Tapi ada juga sisi positifnya, selama masa TA ini banyak yang berkomentar "Kok kamu makin kurus ya Vi?" Horeeee..!!

Untuk mencapai sebuah gelar sarjana memang dibutuhkan kerja keras. Tentu saja ini bermanfaat untuk mempersiapkan kita menjadi seorang arsitek nantinya, paling tidak melatih mental dan disiplin saat bekerja sama dengan rekan kerja atau menghadapi client. Apalagi umumnya salah satu syarat untuk bekerja dibidang arsitektur adalah ‘mampu bekerja dibawah tekanan’. Ternyata sakitnya tuh ga berhenti sampai disini.

Tak heran banyak orang yang menganggap jurusan arsitektur jurusan yang keras, lebih banyak mahasiswa cowok daripada ceweknya. Mungkin image ini juga yang mempengaruhi iklan dan film diatas. Tidak heran juga kalau secangkir kopi bisa jadi teman terbaik mahasiswa arsitektur, terutama untuk yang matanya sudah merem melek pengen tidur tapi gambar belum selesai dan batas pengumpulan tugas tinggal 6 jam lagi, atau untuk yang lagi suntuk dan membutuhkan ide segar. Seperti iklan di atas, langsung melek! Lalu bagaimana dengan nasib mahasiswa yang ga bisa minum kopi -seperti saya-? Kopi bukannya membuat melek tapi malah membuat deg-degan. Ah, apa daya. Dear kopi, mungkin kita tidak dijodohkan untuk menjadi teman baik.



sumber gambar : lifestyle.dreamers.id 
Share:
Read More

Beautiful Splash, Pasih Andus

Sudah aku bilang sebelumnya, perjalanan 1,5 jam melalui tanjakan dan jalan berbatu tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan keindahan yang akan kita lihat di daerah ini. Setelah disambut dengan keindahan Batu Bolong dan serunya bermain air di Angel’s Billabong, aku akan mengajak kalian ke tempat lain yang dekat dengan Pasih Uug, yaitu Pasih Andus. Kata temanku yang berasal dari Nusa Lembongan, andus itu berari asap. Jadi, apakan pemandangan selanjutnya yang kita lihat adalah asap? hehehe, who knows. Aku yakin, asap saja bisa dibuat indah di alam, apalagi kamu.. iya kamu… *eehhh #salahfokus

Oke, back to the topic. Pasih Andus jaraknya tidak terlalu jauh dari pantai Batu Bolong, walaupun tidak sedekat Angel’s Billabong. Perjalanan tidak bisa dilalui dengan berjalan kaki, melainkan naik motor sekitar 10 menit. Mengambil arah berlawanan dengan jalan pulang, kita berjalan ke arah laut. Kita bisa mengikuti signage yang ada. Jalan yang kita lalui masih jalan tanah kecil yang sedikit berbatu. Kita hanya perlu mengikuti jalan sampai mentok dan melihat gazebo kecil. Setelah itu kita harus berjalan kaki sedikit menuruni bukit. Dibawah sana, kamu tidak akan melihat pantai melainkan batu karang yang dijungnya terdapat hempasan ombak keren akibat gelombang air laut yang menabrak dinding karang. Splash!
Pasih = Pantai, Andus = Asap





Yang menarik dari Pasih Andus ini adalah kita tidak pernah menduga kapan cipratan air bakalan datang, ataupun berapa tinggi air yang terhempas. Tidak jarang orang berteriak kegirangan ketika tiba-tiba suara ombak bergemuruh datang diikuti dengan hempasan air dengan tinggi belasan meter dan kemudian menghilang seperti asap, mungkin rasanya seperti menang lotre, hahaha. Tapi hati-hati ya guys, karang disini berbeda dengan karang yang kita temui di Angel’s Billabong. Karang disini berwarna hitam dan lebih tajam. Tetap perhatikan langkah kalian walaupun lagi asik berpose. Disekitar Pasih Andus ini juga ada gazebo kecil. Setelah puas melihat-lihat di Pantai Batu Bolong, main air di Angel’s Billabong, kita bisa gunakan gazebo ini untuk bersantai menyantap bekal sambil menikmati suara ombak dan pemandangan cipratan air di sudut kumpulan batu karang.
Share:
Read More

The Natural Infinity Pool, Angels’s Billabong

Perjalanan jauh yang kita tempuh dari Desa Batu Nunggul menuju desa Bunga Mekar terbayar sudah dengan banyaknya keindahan alam yang dapat kita temukan disini. Setelah disambut dengan keindahan Pantai Batu Bolong yang menyegarkan mata, sekarang saatnya kita bakal menyegarkan tubuh kita, alias main air!! Di perjalanan ini, aku akan ngajak kalian mandi-mandi (kalo orang Medan bilangnya gitu), berenang, berendam, main air, atau apalah itu namanya, di sebuah kolam infinity yang terbentuk alami tanpa campur tangan manusia.

Emn, bicara tentang infinity pool, jadi infinity pool adalah kolam tanpa batas yang dirancang seolah-olah gak ada tepinya, karena air di kolam tersebut dibiarkan keluar melewati batas kolamnya. Pernah liat kolam renang yang ada di Hanging Garden Ubud? Di tempat itu terdapat sebuah infinity pool yang menghadapkan kita ke hijaunya alam yang luas. Atau contoh lainnya di pemandian air panas yang ada di kaki Gunung Batur. Kolam pemandian air panasnya dirancang tanpa batas sehingga kita seolah-olah bersentuhan langsung dengan air di Danau Batur. Dan begitulah tempat yang akan kita datangi sebentar lagi. Kalau contoh diatas hasil tangan manusia, namun yang satu ini hasil tangan langsung dari Sang Pencipta.

Letaknya tidak jauh dari Pantai Batu Bolong, dapat dicapai dengan berjalan kaki di jalan setapak yang terdapat di seberang Pantai Batu Bolong. Setelah melewati jalan setapak, kita akan disuguhnya pemandangan yang berbeda lagi. Bukan bolongan batu dengan birunya air laut, melainkan tebing-tebing batu karang besar berpori berwarna coklat. Tempat kita berpijak tidak lagi tanah, melainkan batu karang dengan beberapa genangan air kecil. Lalu setelah berjalan lagi ke arah laut, kita akan menemui sebuah infinity pool yang bersembunyi di bawah diantara tebing karang. Angel’s Billabong, namanya secantik rupanya. Tempat ini adalah muara akhir daru sungai Nusa Penida sebelum ke lautan lepas. Airnya jernih sampai kita bisa melihat apa yang ada di dasarnya, di bagian ujungnya terdapat percikan air yang dihasilkan dari hempasan ombak yang mneghantam tebing karang, membuat kita tidak sabar untuk segera turun kebawah menikmati sejuknya air. Hmm, ayo kita nyeburr sekaranggg!!
Berjalan kaki menuju Angel's Billabong
Penuh dengan karang
Ini dia, bidadari yang tersembunyi di alam Nusa Penida :D
Seperti kolam renang pada umumnya, ternyata Angel’s Billabong juga menawarkan kolam dengan berbagai kedalaman. Bagi kamu yang tidak bisa berenang, kamu bisa sekedar berendam di bagian sebelah kanan atau menikmati percikan ombak di bagian ujung Angel’s Billabong. Bagi yang ingin merasakan kedalamannya, kamu bisa berenang di bagian kiri sambal duduk di batu karang yang ada di bagian sana.
Bermacam-macam aktivitas bisa dilakukan disini.
Dari berenang..
Mengambang..
Atau sekedar menunggu moment percikan besar ombak datang untuk segera mengabadikannya.
Berfoto ceria..
Berfoto ketika ada yang terjatuh kedalam air saking hebohnya..
Atau berfoto sambil memeriksa duri yang tiba-tiba nancep di kaki, hahaha
Seru sekali!! Tempat ini masih alami dan tersembunyi sehingga belum banyak orang yang berkunjung kesini, seperti punya sendiri saja. Private-natural-infinity-pool. Apalagi yang kurang coba? Berkunjung kesini memang membuat kita tidak ingin pulang, tapi jangan lupa untuk ikutin perjalanan kita selanjutnya disini ya.
Share:
Read More